Minggu, 22 Juli 2012

ARTI MAKANAN INSTANT DI JEPANG


Oleh : Iin Diah Indrawati

Kemunculan Ramen Instant di Jepang
          Makanan yang paling tipikal di masa pertumbuhan ekonomi Jepang yang tinggi barang kali dapat diwakili dengan jenis makana instant seperti ramen instant.
        Tahun1958, Perusahaan Nisshin menjual chikin ramen dan dimulailah, booming makanan instant. Ketika itu, dalam hal pembungkusan telah dikembangkan plastik yang bermutu anti lembap sehingga hasilnya dalam hal pemyimpanan pun mengalami kemajuan. Di tahun 1971, dalam ramen instant dimunculkan cup ramen yang kabarnya ditetapkan menjadi makanan nasional. Waktu itu, karena pemuda yang tinggal sendiri dan para mahasiswa sering makan makanan instant, akhirnya menimbulkan gangguan gizi sehingga menjadi pokok pembicaraan. Hal itu disebabkan karena banyaknya obat pencegah oksidasi, zat pembeku sintesis, bahan pewarna makanan dan bahan tambahan lainnya yang tidak digunakan sewajarnya. Disamping itu juga, ketika itu hanya sedikit orang yang memperhatikan bahaya dari zat-zat pengawet tersebut.
        Tambahan lagi, di tahun 1960 Perusahaan Morikouri di Jepang untuk pertama kalinya telah menjual kopi instant. Instant atau tidak instant pada waktu itu bisa disebut hanya dengan kopi dapat bahagia. Khususnya dalam penukaran hadiah seperti chugen, seibou dan lainnya. Masyarakat Jepang memberikan kopi instant sebgai barang mewah atau berkualitas tinggi. Lain dari itu, miso shiru instant, potato chips, dan lainnya serta industri makanan instant lainnya berkembang sangat pesat di jepang. Terlepas dari rasa, manfaat yang utama dari menyebarluasnya makanan instant adalah hanya dengan mengaduk-aduk saja. Dasar ini yang mengharuskan kepraktisan cukup untuk masyarakat Jepang.
Kepopuleran Makanan Beku
        Kepopuleran makanan instant yang hebat sekali kian bertambah, makanan beku pun mulai meluas dalama masyarakat Jepang karena hanya perlu mencairkan dan memasaknnya saja. Di tahun 1930 makanan beku telah dikembangkan dengan cara sistem berantai secara terus menerus. Pada tahun yang sama makanan beku telah menyebar dan menjadi makanan umum, karena dapat diproduksi secara masal serta prosesnya hanya dengan dibekukan. Kalau jarang ada waktu untuk memasak, ada beberpaa pilihan makanan olahan yang baik dan mudah dilakukan seperti kroket yang hanya digoreng dengan minyak, makanan yang digoreng setengah masak, gyoza yang hanya dibakar dengan wajan dan kue manjyu yang hanya dikukus seperti siomay.
        Setelah menyebarnya kulkas di Jepang, tidak perlu menunggu barang sampai habis tapi kapan saja bisa membeli daging, ikan sayur-sayuran. Kehidupan masyarakat Jepang pada masa itu, tidak mempunyai waktu yang banyak untuk menyimpan bahan makanan dalam jumlah yang banyak di kulkas. Di tahun 1965, kira-kira presentase penyebaran kulkas meningkat 50% kemudian lahirlan kulkas 2 pintu. Kira-kira semenjak waktu itu, kulkas menjadi hal yang penting dalam hal menyimpan bahan manakan rumah tangga. Pada waktu yang sama, ide untuk menyimpan makanan dalam suhu normal menjadi berkurang. Hingga sekarang, pasti bisa menyimpan miso, soyu atau jamu, tsukudani, umeboshi di dalam kulkas.
        Kesimpulannya, menyebarnya kulkas listrik srta ukurannya yang besar mempunyai pengaruh yang kuat dalam hal makanan beku. Dan lagi, seiring meluasnya kulkas perkembangan wadah pun telah maju sehingga memudahkan kulkas dapa diterima dalam masyarakat.  Serta bentuk yang bulat dan bentuk segitiganya yang dapat mudah di tumpuk tinggi kemudian ada juga bentuk wadah menyerupai stocking menjadikan barang dagangan yang laris terjual. Setelah tahun 1970, makanan beku menjadi beredar di pasar dalam jumlah yang banyak tetapi, hasil penjualan wadah yang digunakan untuk kulkas dalam 1 tahun presentasenya telah melampaui perkembangan sekitar 30%.
Dari Makanan Instan Menuju makanan Retort
        Disamping itu, makanan retort adalah makanan kaleng yang sudah ada semenjak sebelum perang dan berubah dalam variasi plastik krep. Makanan retort mengalami perubahan dan perkembangan dalam hal pembungkusan bahan makanannya yang didukung dengan sterilisasi dan suhu ynag tinggi, jadi makanan retort adalah makanan yang hanya dipanaskan saja.
        Ketika itu, penjualan makanan retort dipopulerkan melalui iklan komersial [ kare adalah masakan andalan ayah di rumah] hal ini menjadi suatu slogan bahwa hal yang teringat dari makanan retort pasti kare.
Jika dibandingkan melalui alasan pembeliannya, memang makanan instant lebih sulit diterima dibandingkan dengan makanan beku dan makanan retort mungkin karena makanan ini adalah makanan sederhana namun memiliki rasa yang hampir mirip dengan aslinya.dalam perkembangan ekonomi yang tinggi ini kebutuhan akan makan makanan alami dan sehat sedang menghilang. Disisi lain, tidak bisa diingkari bahwa hasrat ingin makan makanan asli sedang meningkat. Pada waktu itu, tezukuri dan sumiyaki menjadi cara yang dilakukan masyarakat Jepang.
Tetapi disisi lain, bisa dikatakan bahwa makanan darurat berguna dalam kepraktisan penyimpanan kemudian disatu bagian dapat menghemat waktu sambil menyimpan hasrat ingin makan makanan asli. Bisa disebut hal ini sebgai ingin makanan yang asli dengan instant, mudah dan cepat.
Seiring dengan penjualannya makin sering dilihat di supermarket eropa dan lainnya yang menjual daging, sayur dan bahan makanan beku seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kemudahan makan dalam waktu yang singkat bisa dikatakan sebagai bentuk makanan yang asal jadi. Inilah titik pusat pertumbuhan makanan sederhana di Jepang sangat berbeda dengan eropa. Oleh karena itu, inilah silsilah dari makanan instant yang bisa dijelaskan.

Daftar Pustaka
日本事情 (インスタントの食品の意味)

NILAI GIRI DALAM VALENTINE DAY DIKALANGAN OFFICE LADY


Oleh : Iin Diah Indrawati

1.1    Latar Belakang
Hari Valentine adalah sebuah perayaan yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa kasih sayang antara teman, kekasih maupun keluarga. Saat ini Valentine day tidak hanya dirayakan di Amerika namun, hampir semua negara telah merayakannya. (Naylor, Larry L.1998. Hal 112). Pada umumnya, Valentine day dirayakan setiap tahun pada tanggal 14 Februari. Di Amerika, Valentine day dirayakan dengan cara saling bertukar kartu. Kemudian, kartu tersebut diberikan kepada kekasih ataupun keluarga sebagai ungkapan kasih sayang mereka. (Marilyn Coleman, Lawrence H. Ganong, Kelly Warzinik.2007. Hal 122).
Sama halnya dengan Amerika, Jepang pun juga merayakan Valentine day. Berbeda dengan Amerika, di Jepang hanya para wanita saja yang memberikan coklat kepada pria. Umumnya, coklat tersebut diberikan kepada rekan kerja, dan teman-teman. Coklat yang diberikan kepada rekan kerja dan teman-teman disebut dengan giri choco yang berarti coklat kewajiban. Di Jepang, giri choco hanya berupa coklat biasa yang harganya relatif murah.
        Di Negara Barat umumnya Valentine day dirayakan oleh siapapun, baik wanita ataupun laki-laki dapat memberikan hadiah berupa coklat kepada teman, keluarga, kekasih ataupun suami/istri sebagai ungkapan rasa kasih sayang mereka. Akan tetapi, di Jepang hanya para wanita yang merayakan Valentine day dengan cara memberikan coklat kepada rekan kerja atau sahabat laki-laki, kekasih ataupun suami. Bahkan, ungkapannya pun berbeda bergantung kepada siapa wanita itu akan memberikan coklat tersebut.( Rupp, Katherine.2003. Hal 150)
        Perayaan Valentine day di Jepang sangat terlihat di dalam perusahaan, khususnya bagi Office Lady. Kebanyakan Office Lady yang bekerja di perusahaan Jepang, menganggap bahwa Valentine day adalah sebuah perayaan besar untuk memberikan hadiah kepada rekan kerja laki-laki mereka khususnya untuk atasan dan sarariman. Bukan itu saja, mereka sangat mempersiapkan hadiah yang akan diberikan pada saat Valentine day.
        Di Jepang, seorang wanita yang bekerja di perusahaan disebut ofisu redi atau disingkat OL. Saat ini, sebagian besar OL yang bekerja di perusahaan berasal dari lulusan Universitas atau Perguruan Tinggi. (Ogasawara, 12). Tugas utama dari seorang OL adalah menjalankan mesin foto kopi, mampu membuat laporan akutansi, serta mengoperasikan komputer. Selain itu, OL juga memiliki tanggung jawab untuk menyajikan teh kepada para sarariman dan atasan, membersihkan meja kerja sarariman dan atasan, kemudian menerima telepon di perusahaan. Bahkan, tidak jarang setiap akhir minggu para OL harus menemani sarariman serta atasan mereka untuk bermain golf. Hal ini disebabkan karena, bagi perusahaan pekerjaan OL tidak memiliki kontribusi yang begitu penting dalam di dalam perusahaan. (Ogasawara, 73)
Berbeda dengan Office Lady, bagi perusahaan di Jepang sarariman mempunyai kontribusi yang sangat penting. Bahkan, sarariman merupakan tulang punggung ekonomi perusahaan yang mampu bekerja selama lebih dari 16 jam dalam sehari. Dalam kegiatan pekerjaan sehari-hari sarariman bertugas untuk mengerjakan laporan mengenai perusahaan, mengikuti rapat bersama para atasan dan kolega perusahaan. Bahkan, setelah selesai bekerja pun sarariman ini harus mengikuti atasan mereka untuk minum bersama di bar, serta setiap akhir minggu mereka pun harus pergi bersama atasan dan kolega perusahaan untuk bermain golf sambil membicarakan masalah dan kondisi perusahaan.
(http://factsanddetails.com/japan.php?itemid=628&catid=18&subcatid=118)
        Namun, kegiatan itu semua harus didukung oleh peran OL. Seperti saat sarariman harus mengerjakan laporan perusahaan, OL harus membantu sarariman tersebut dalam pengetikan laporan. Kemudian, saat sarariman harus mengikuti rapat dengan para atasan dan kolega perusahaan, OL harus bertugas untuk menyiapkan dan menyajikan teh kepada mereka. Bahkan, usai bekerja dan di akhir minggu para OL ini harus bersedia untuk menemani sarariman, para atasan serta kolega perusahaan untuk pergi ke bar dan bermain golf. Oleh karena itu meskipun kontribusi OL bagi perusahaan tidak begitu penting, namun dalam pekerjaan sehari-hari OL tetap dibutuhkan oleh sarariman, serta para atasan di perusahaan.
(http://factsanddetails.com/japan.php?itemid=624&catid=18&subcatid=118)
        Disis lain, pada umumnya pekerja di Jepang lebih didominasi oleh pria. Hal itu disebabkan karena perusahaan menganggap bahwa pria dapat bekerja lebih lama dan mereka tidak memiliki kewajiban untuk mengurus anak dan rumah tangga. Hal ini sangat berbeda dengan wanita, di Jepang banyak perusahaan yang tidak dapat mempekerjakan wanita dalam waktu yang relatif lama. Dengan alasan, bahwa tugas utama seorang wanita adalah mengandung anak, merawat anak serta mengurus rumah tangga. Bukan itu saja, di Jepang wanita dianggap tidak dapat melakukan kebiasaan kegiatan di kantor sehari-hari seperti harus datang pagi hari ke kantor dan pulang larut malam.
(http://factsanddetails.com/japan.php?itemid=628&catid=18&subcatid=118)
        Hal ini sebenarnya sesuai dengan budaya Jepang yaitu Uchi-Soto. Uchi berarti di dalam atau rumah., Sedangkan Soto berarti di luar. Di Jepang budaya Uchi sering diidentikkan dengan wanita yang harus merawat anak dan mengurus rumah tangga. Sebaliknya, budaya Soto lebih dikaitkan dengan pria yang harus bekerja diluar rumah. Akan tetapi, berkat kebutuhan sarariman akan peran OL dalam membantu pekerjaan mereka. Maka, para wanita di Jepang dapat bekerja di perusahaan sebagai Office Lady. Sehingga, dapat dilihat bahwa bagi OL, sarariman sangat berjasa karena telah mambuat para wanita di Jepang dapat bekerja di perusahaan.
        Pada saat Valentine day, para OL memberikan hadiah berupa coklat kepada sarariman dengan tujuan untuk menjaga keselarasan di tempat bekerja. Melalui kegiatan  pemberian tersebut mereka ingin memberikan kesan menyenangkan sekaligus sebagai ungkapan terimakasih para OL kepada sarariman serta atasan mereka di perusahaan. (Ogasawaru, Yuko. Office Ladies and Salaried Men: Power, Gender and Work in Japanese Company. Hal 98).

1.2    Rumusan Permasalahan
Bagaimana nilai giri yang diwujudkan oleh pekerja Office Lady dalam perusahaan Jepang?

1.3          Ruang Lingkup
Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin memfokuskan nilai giri yang ada saat  Valentine day di kalangan Office Lady.

1.4          Tujuan Penelitian
Penulisan ini bertujuan untuk mengkaji nilai giri yang terungkap pada Valentine day yang dirayakan oleh Office Lady di perusahaan Jepang. 


1.5          Metodologi Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah menentukan tema, mencari data yang sesuai dengan tema tersebut, membuat pernyataan maksud penelitian, membuat latar belakang penelitian, merumuskan masalah, membatasi ruang lingkup, dan menentukan kepustakaan yang cocok. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan karena peneliti ingin mengkaji mengenai makna nilai giri dalam Valentine day di kalangan Office Lady, makna ini saya ambil dari buku Office Ladies and Salaried Men: Power, Gender and work in Japanese Company dan dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan Kualitatif adalah pendekatan yang menggunakan rata-rata, non pengukuran dan non-statistik. Sehingga, peneliti memilih buku tersebut karena pembahasan mengenai Valentine day di kalangan Office Lady itu ada terdapat nilai giri seperti pada saat Valentine day, para Office Lady memberikan hadiah berupa coklat kepada sarariman dengan tujuan untuk menjaga keselarasan di tempat bekerja.











Daftar Pustaka
Ogasawaru, Yuko. Office Ladies and Salaried Men: Power, Gender and Work in Japanese Company. University of California Press. 1998
Rupp, Katherine. Gift Giving in Japan: Cash, Connection, Cosmologies. Standford University Press. 2003
Roger J. Davies & Osamu Ikeno. The Japanese Mind: Understanding Contemporary Japanese Culture. Tuttle Publishing. 2002
Naylor, Larry L. American Culture: Myth and Reality of a Culture of Diversity. Greenwood Publishing Group. 1998
Marilyn Coleman, Lawrence H. Ganong, Kelly Warzinik. Family Life in 20th Century America. Universitas of California Press. 2007
Lebra, Takie Sugiyama. Japanese Culture and Behavior. University of Hawaii Press Honolulu. 1974
Mauss, Marcel. Pemberian: bentuk dan fungsi tukar-menukar di masyarakat kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.1992
Tesis Konsep Giri dalam Okurimono. Universitas Binus. 2003
(http://factsanddetails.com/japan.php?itemid=628&catid=18&subcatid=118)
(http://factsanddetails.com/japan.php?itemid=624&catid=18&subcatid=118)
(http://azkaakza.wordpress.com/2010/05/26/hari-valentine-di-jepang)

PENGARUH RYOUSAIKENBO TERHADAP KARIR PARA IBU MUDA JEPANG


Oleh  : Iin Diah Indrawati

        Kehidupan wanita disetiap negara pastilah memiliki perbedaan. Tentunya, masing-masing negara memiliki ciri khas tersendiri. Perbedaan disetiap negara itu bisa berupa kehidupan sosial, karir, dan sebagainya. Bahkan, perbedaan itu pun sewaktu-waktu dapat berubah ataupun berkembang disetiap negara. Sebab, hal itu tidak dapat terlepas dari faktor-faktor budaya dan kehidupan masyarakat yang ada pada saat itu.
Begitu juga dengan negara Jepang. Jepang pun memiliki ciri khas tersendiri terhadap kehidupan sosial wanitanya. Kehidupan sosial ini terus mengalami perubahan khususnya setelah Perang Dunia II berakhir di Jepang, peluang bekerja bagi wanita menjadi terbuka lebar. Hal tersebut membuat banyak wanita Jepang memilih bekerja dengan tujuan untuk emansipasi kesetaraan hak dan mengejar karir. Bahkan, meningkatnya wanita Jepang yang berpendidikan tinggi dan  memiliki kemampuan bekerja yang setara dengan laki-laki membuat kesempatan tersebut menjadi semakin besar bagi wanita untuk masuk dalam dunia kerja.
        Namun, dalam menjalani kehidupan setiap wanita pasti menjalani kehidupan pernikahan. Dalam menjalani pernikahan, tentunya wanita diharapkan menjadi seorang ibu rumah tangga yang dapat mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga sepenuhnya. Bagi masyarakat Jepang seorang ibu memiliki peranan yang besar di dalam keluarga. Mulai dari mengurus rumah tangga, merawat dan mendidik anak, serta mengontrol keuangan rumah tangga. Sehingga, hal tersebut menimbulkan konsep ryousaikenbo di dalam masyarakat Jepang.
Walaupun kesempatan bekerja bagi wanita Jepang saat ini terbuka lebar, namun banyak wanita Jepang yang ditempatkan dalam posisi yang tidak begitu penting. Bahkan, wanita yang telah menikah dan memiliki anak tidak dapat melanjutkan karir mereka seperti wanita lain yang belum menikah. Bagi wanita Jepang hal tersebut merupakan ketidakadilah gender dalam dunia kerja.  Oleh karena itu, dalam makalah ini peneliti akan menulis mengenai pengaruh ryousaikenko terhadap karir para wanita Jepang yang telah menikah dan memiliki anak.
Konsep Ryousaikenbo
Pada zaman Edo para wanita Jepang telah dididik untuk menjadi istri yang baik dan kelak akan memiliki rasa tanggung jawab dalam mengurus rumah tangga dan melahirkan anak. Pada zaman ini konsep ryousaikenbo belum muncul karena wanita pada saat itu tidak memiliki tanggung jawab yang penuh atas pendidikan formal bagi anak-anak mereka. Akan tetapi, pada zaman meiji sekiatar tahun 1867 merupakan awal dimulainya restorasi meiji. Pada masa itu Jepang sedang berusaha mengejar keterbelakangan dari bangsa barat. Oleh karena itu, pemerintah mengupayakan dengan cara meningkatkan sistem pendidikan wanita agar disamaratakan dengan pria karena kenyamanan dan kebahagian di rumah sangat bergantung pada wanita. Selain itu mendidik anak pada masa pertumbuhan merupakan tanggung jawab seorang ibu, karena itu masa depan bangsa sangat tergantung pada pendidikan wanita. (Makalah Nihon Toshi Shakai Mondai Wanita Jepang dalam Konsistensi menjadi Seorang Ibu, Oleh Risma Delviana Siahaan)
Sekitar tahun 1874, seorang ahli konfusian yaitu Nakamura mengidentifikasikan peran ibu dalam wanita adalah sumber kekuatan negara. Ia percaya bahwa wanita yang berpendidikan akan membawa masyarakat menjadi lebih maju. Sejak saat itu muncullah konsep ryousaikenbo yaitu istri yang baik dan ibu yang bijaksana. Konsep ini oleh pemerintah semakin gencar diperkenalkan dan ditanamkan kepada para wanita Jepang agar selain menjadi istri yang baik juga dapat menjadi ibu yang bijaksana dan memperhatikan pendidikan anak-anak mereka. Bila memiliki ibu yang baik dan pandai maka anak mereka pun akan pandai dan Jepang pun akan menjadi negara yang maju. Maka untuk menciptakan ibu yang baik, tidak ada cara lain selain, mendidik para wanita sejak dini dengan menanamkan konsep ryousaikenbo. (Rita R. Konsep Chichioya fuzai dalam hubungan ayah dan anak di Jepang. Universitas Binus. 2008)
Sebenarnya, ryousaikenbo merupakan awal dari pandangan wanita Jepang modern. Hal ini disebabkan karena sebelum zaman meiji, para wanita hanya berperan sebagai orang melahirkan anak saja serta tidak diperbolehkan  mengurus anaknya sendiri. Tetapi sejak konsep ryousaikebo mulai diterapkan pada zaman meiji, wanita pun harus turut berperan aktif dalam mendidik anak. Bahkan, konsep ryousaikenbo ini semakin diperkuat bahwa keluarga dianggap sebagai rumah. Dengan maksud bahwa di dalam rumah para anggota keluarga akan dirawat secara penuh kasih sayang oleh istri atau ibu.
Meskipun wanita Jepang telah mengalami kemajuan pada zaman itu namun, tetap saja dilakukan pemisahan kelas bagi pria dan wanita. Bahkan, pada saat itu pekerjaan bagi wanita Jepang sangat dibatasi serta pendidikan bagi wanita hanya dapat sampai SMU. Sehingga dapat dikatakan bahwa, konsep ryousaikenbo sebagai awal dari dimulainya ketidakadilan gender bagi wanita Jepang. Dimana seorang wanita yang telah menikah dan memiliki anak harus secara penuh mengurus rumah tangga dan merawat anak serta patuh terhadap segala keputusan suami.
Atas dasar konsep ryousaikenbo ini wanita Jepang harus dapat berperan sebagai istri yang baik dan mengatur keadaan rumah dan melayani kebutuhan keluarga terutama suami dan dapat juga bereran sebagai ibu yang bijaksana dalam menyerahkan diri sepenuhnya untuk mendidik anak. Sehingga kedua hal tersebut menjadi prioritas utama. (Rita R. Konsep Chichioya fuzai dalam hubungan ayah dan anak di Jepang. Universitas Bina Nusantara. 2008)

Karir Para Ibu Muda Jepang
          Ketika perang Dunia II berakhir di Jepang, tingkat pendidikan pada kehidupan wanita Jepang pun telah mengalami perkembangan. Jika, sebelum perang dunia II wanita Jepang hanya diperbolehkan melanjutkan pendidikan sampai SMU, tetapi sekarang sudah banyak para wanita Jepang saat ini dapat melanjutkan pendidikan hingga tingkat Universitas. Akibat hal tersebut, persaingan dalam dunia kerja dan peluang bekerja bagi wanita Jepang terbuka lebar. (Dampak karir terhadap menurunnya angka kelahiran di Jepang. Universitas Bina Nusantara.2007)
        Wanita yang memiliki latar pendidikan yang tinggi maka secara otomatis akan mendapatkan pekerjaan yang baik pula. Akibatnya, banyak perusahaan bertaraf internasional di Jepang yang menerima para wanita yang berasal dari lulusan Universitas. Kemudian, dengan memiliki pekerjaan yang bagus para wanita tersebut pasti akan mendapatkan gaji yang tinggi. Hal ini tentunya akan membuat wanita Jepang semakin termotivasi untuk terus bekerja walaupun telah menikah.
        Akan tetapi, di Jepang kesempatan untuk bekerja setelah menikah dan memiliki anak adalah hal cukup sulit dilakukan. Alasannya, banyak perusahaan Jepang yang diawal memberikan kontrak sebagai wanita karir atau tidak. Jika tidak, setelah ia menikah dan memiliki anak maka ia harus berhenti dari perusahaan untuk merawat anak dan nantinya tidak bisa kembali bekerja di perusahaan tersebut dengan posisi yang sama. Hal tersebut, mengakibatkan banyak wanita Jepang hanya dapat bekerja untuk waktu yang relatif singkat di dalam perusahaan. (Makalah Nihon Toshi Shakai Mondai Wanita Jepang dalam Konsistensi menjadi Seorang Ibu, Oleh Risma Delviana Siahaan)
Hal ini pun semakin ditegaskan oleh Iwao Sumiko dalam bukunya The Japanese Woman: Traditional Image and Changing Reality yang menggambarkan bagaimana pola kehidupan pekerja wanita dan pria Jepang pada tahun 1982 dari usia 25 tahun hingga usia 65 tahun, yang membentuk grafik sebagai berikut:





 
 











Gambar  Survey Dasar Mengenai Komposisi Pekerja Tahun 1982

        Grafik tersebut membentuk “kurva M” dan kurva tersebut menggambarkan bahwa pada usia 20-24 tahun baik pria maupun wanita Jepang memiliki pekerjaan untuk pria 80% dan wanita 70%, tetapi pada usia 25-34 tahun wanita Jepang yang telah menikah dan bekerja presentasenya hanya 40% sedangkan dengan wanita Jepang lajang yang bekerja presentasenya 79%. Kemudian di usia 35-54 tahun wanita Jepang bekerja yang telah menikah presentasenya 60% sedangkan wanita Jepang lajang  dan bekerja presentasenya 80%.
        Kurva berbentuk “M” terjadi karena dipengaruhi oleh siklus kehidupan wanita Jepang yang terdiri dari empat fase yaitu fase pertama adalah fase menjadi dewasa, bersekolah dan bekerja. Fase kedua adalah menikah, melahirkan dan membesarkan anak. kemudian fase ketiga adalah fase kehidupan setelah membesarkan anak dan yang terakhir fase keempat adalah masa tua. (Sugitomo 2003:154 )
Kemudian, hal tersebut semakin diperkuat dengan contoh kasus yang ditulis oleh Jolivet dalam bukunya Japan: The Childless Society? The Crisis of Motherhood (2006:31), ia memberikan contoh kasus mengenai seorang ibu muda Jepang yang harus berhenti bekerja karena harus mengurus rumah tangga dan merawat anak.
Mrs A, after four years of study, spent five years working in publicity and then was excluded from professional circles when she became pregnant. She told the baby help line that her husband opposed her continuing to work because she had reached the right age (about 27 or 28)to have a child. Filled with regret at having to break her career and feeling herself to be the victim of her husband’s decision, she did not find her child ‘lovable’. Childcare was an overwhelming experience and the fact that she never had a minute to herself to read a book or the newspaper was positively frustrating. She found the task irksome and exasperating and whenever the child refused his feeed she admitted to feeling tempted to throw the bottle to the ground.
Terjemahan:
seorang ibu muda di Jepang yang berinisial “A” setelah 4 tahun lamanya bersekolah dan  menghabiskan 5 tahun waktunya untuk bekerja di sebuah perusahaan, dikucilkan dari rekan kerjanya  ketika dirinya tengah mengandung. Bahkan, dia mengatakan kepada baby help line bahwa suaminya melarang ia melanjutkan pekerjaannya karena dia telah mencapai usia yang tepat yaitu sekitar 27 atau 28 tahun untuk memiliki anak. Dengan diliputi perasaan penyesalan karena ia harus berhenti dari karirnya untuk sementara dan dia merasa dirinya menjadi korban dari keputusan suaminya sehingga dia tidak dapat menemukan perasaan untuk menyayangi anaknya. Merawat anak adalah pengalaman yang luar biasa tetapi kenyataannya dia tidak mempunyai waktu semenit pun untuk sekedar membaca buku ataupun koran hingga akhirnya ia merasa benar-benar frustasi. Dia seperti menemukan tugas yang menjemukan dan menjengkelkan ketika anaknya menolak makanan yang diberikan olehnya, bahkan dia merasa terpancing untuk melemparkan botol sang anak ke tanah.
          Contoh kasus diatas sangat menunjukkan bahwa ibu muda tersebut mengalami dilema saat rekan kerjanya memaksa ia secara tidak langsung agar berhenti bekerja karena tengah mengandung bahkan bukannya itu saja suaminya pun juga melarang ia untuk bekerja karena tugas sebenarnya bagi seorang wanita yang telah menikah adalah mengurus rumah tangga dan merawat anak.
Ketidakadilan gender dan Pengaruh  ryousaikenbo Terhadap Karir Ibu Muda di Jepang
          Sejak berakhirnya perang dunia II di Jepang, tenaga kerja wanita mulai banyak bermunculan disegala bidang pekerjaan. Bahkan, mereka dapat secara bebas mengikuti pendidikan sama seperti pria. Para wanita yang memiliki pendidikan tinggi dapat bekerja diberbagai macam perkantoran di Jepang. Walaupun para wanita telah memperoleh kebebasan dalam memperoleh pendidikan hingga tingkat Universitas namun tidak dapat dielakkan bahwa apabila kelak ia menikah dan menjadi seorang ibu maka ia harus melaksanakan perannya secara penuh sebagai ibu rumah tangga sesuai dengan konsep ryousaikenbo. Dimana proritas utama menjadi seorang ibu adalah harus mengurus rumah tangga dan merawat anak.
        Wanita yang bekerja dan telah menikah apabila ia beristirahat dari pekerjaannya karena harus merawat anaknya dan kemudian memutuskan kembali lagi untuk memasuki dunia kerja, biasanya akan sulit diterima di dalam perusahaan lamanya atau kalau pun diterima dalam perusahaan yang dahulu biasanya akan mendapatkan posisi pekerjaan yang lebih rendah daripada posisi pekerjaannya sebelum menikah. Kebanyakan wanita yang telah berhenti bekerja saat menikah tidak akan bisa memperoleh jenis pekerjaan yang sama dengan pekerjaan yang telah dia tinggalkan sebelumnya, karena dibutuhkan jenjang karir yang panjang untuk memperoleh posisi manajer dalam sebuah perusahaan.
        Peneliti berpendapat bahwa, salah satu penyebab wanita Jepang yang telah menikah dan memiliki anak harus berhenti bekerja adalah adanya pengaruh dari konsep ryousaikenbo. Dimana dalam konsep ryousaikenbo diajarkan bahwa kunci sukses sebuah rumah tangga adalah wanita dapat berperan sebagai istri yang baik dan mengatur keadaan rumah dan melayani kebutuhan keluarga terutama suami dan dapat juga bereran sebagai ibu yang bijaksana dalam menyerahkan diri sepenuhnya untuk mendidik anak. Serta mereka meyakini bahwa mendidik anak dengan kemampuan sendiri akan membuahkan hasil yang lebih baik yaitu bila memiliki ibu yang pandai maka anak mereka pun akan pandai.
        Kemudian dengan melihat grafik yang berbentuk kurva “M” yang ada dibagian atas dapat disimpulkan bahwa wanita yang bekerja pada usia 25~34 tahun dan berada di fase dua yaitu fase melahirkan dan membesarkan anak, presentasenya mengalami penurunan. Tetapi setelah selesai menghadapi fase dua, yaitu wanita yang berada di fase ketiga ketika berusia 35~50 tahun presentasenya kembali meningkat. Berdasarkan hal tersebut peneliti berpendapat bahwa menurunnya presentase wanita Jepang yang berada dalam fase dua adalah disebabkan karena setiap wanita Jepang yang bekerja apabila memutuskan untuk menikah dan memiliki anak maka secara otomatis mereka harus meninggal pekerjaan mereka dan bekerja sebagai ibu rumah tangga sesuai dengan konsep ryousaikenbo yaitu istri yang bijaksana dan ibu yang baik bagi anak dan suami mereka.
        Akan tetapi, bagi wanita Jepang berhenti bekerja karena harus mengurus rumah tangga dan merawat anak adalah sebuah ketidakadilan gender. Menurut Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan transformasi sosial (2003:74) ia menjelaskan gender dan stereotipe secara umum yaitu
       Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok. Stereotipe adalah pelabelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu dan akibat dari stereotipe itu terjadi diskriminasi serta berbegai ketidakadilan yang lainnya. Dalam masyarakat banyak sekali stereotipe yang dilekatkan kepada kaum perempuan yang berakibat membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Karena adanya keyakinan masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah (bread winner) misalnya, setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dinilai tambahan dan oleh karenanya boleh saja dibayar lebih rendah.

Berdasarkan kutipan diatas stereotipe termasuk salah satu ketidakadilan gender. Dimana stereotipe adalah pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu. Kelompok yang dimaksud adalah wanita. Dimana dalam masyarakat wanita selalu diidentikan sebagai kaum yang lemah. Dengan melihat hal tersebut peneliti berpendapat bahwa pengaruh ryousaikenbo terhadap karir wanita Jepang yang telah menikah dan memiliki anak hingga harus berhenti dari pekerjaan termasuk dalam stereotipe. Alasannya adalah karena adanya pelabelan atau citra ryousaikenbo disetiap wanita Jepang maka apabila ada wanita yang memutuskan untuk menikah dan memiliki anak secara otomatis karir mereka akan terhenti.
        Kemudian, berdasarkan contoh kasus yang dikemukan oleh Jolivet (2006:31) diatas dapat disimpulkan bahwa ibu muda tersebut sedang mengalami dilema, antara memilih pekerjaan dan mengurus anak serta keluarga walaupun pada akhirnya ibu muda tersebut akhirnya memilih mengurus rumah dan merawat anak. Peneliti berpendapat bahwa dari contoh kasus tersebut sangat membuktikan bahwa konsep ryousaikenbo sangat mengakar dan terlihat jelas di dalam kehidupan masyarakat Jepang. Bahkan, contoh kasus tersebut sangat menggambarkan betapa ibu muda itu terlihat tidak dapat berbuat apapun selain mengikuti hal tersebut yaitu berhenti bekerja.
        Bahkan, hal tersebut pun termasuk dalam ketidakadilan gender stereotipe dimana seorang wanita yang telah menikah dan memiliki anak itu harus berhenti bekerja dan mengurus rumah tangga secara penuh, merawat dan mendidik anak, serta mengurus keuangan rumah tangga.




Kesimpulan
Pada era meiji muncullah sebuah konsep ryousaikenbo yang artinya istri yang baik dan ibu yang bijaksana. Dimana dalam konsep ryousaikenbo ini wanita Jepang harus dapat berperan sebagai istri yang baik dan mengatur keadaan rumah dan melayani kebutuhan keluarga terutama suami dan dapat juga bereran sebagai ibu yang bijaksana dalam menyerahkan diri sepenuhnya untuk mendidik anak. Sehingga kedua hal tersebut menjadi prioritas utama bagi setiap wanita Jepang yang telah menikah dan memiliki anak.
        Ketika perang Dunia II berakhir di Jepang, tingkat pendidikan pada kehidupan wanita Jepang pun telah mengalami perkembangan. Akibatnya, persaingan dalam dunia kerja dan peluang bekerja bagi wanita Jepang terbuka lebar. Tetapi, di Jepang kesempatan untuk bekerja setelah menikah dan memiliki anak adalah hal cukup sulit dilakukan. Bahkan, hal ini pun semakin ditegaskan dalam bentuk grafik yang berbentuk kurva “M”. Dimana dalam grafik itu diterangkan bahwa wanita yang bekerja pada usia 25~34 tahun dan berada di fase dua yaitu fase melahirkan dan membesarkan anak, presentasenya mengalami penurunan. Tetapi setelah selesai menghadapi fase dua, yaitu wanita yang berada di fase ketiga ketika berusia 35~50 tahun presentasenya kembali meningkat. disebabkan karena setiap wanita Jepang yang bekerja apabila memutuskan untuk menikah dan memiliki anak maka secara otomatis mereka harus meninggal pekerjaan mereka dan bekerja sebagai ibu rumah tangga sesuai dengan konsep ryousaikenbo yaitu istri yang bijaksana dan ibu yang baik bagi anak dan suami mereka.
        Bahkan hal ini pun semakin diperkuat oleh contoh kasus yang menggambarkan bagaimana dilemanya seorang ibu muda Jepang antara memilih pekerjaan dan mengurus anak serta keluarga walaupun pada akhirnya ibu muda tersebut akhirnya memilih mengurus rumah dan merawat anak. contoh kasus tersebut sangat membuktikan bahwa konsep ryousaikenbo sangat mengakar dan terlihat jelas di dalam kehidupan masyarakat Jepang.
        Peneliti berpendapat bahwa, berdasarkan dari grafik dan contoh kasus diatas terlihat jelas pengaruh ryousaikenbo terhadap karir wanita Jepang yang telah menikah dan memiliki anak hingga harus berhenti dari pekerjaan termasuk dalam stereotipe. Alasannya adalah karena adanya pelabelan atau citra ryousaikenbo disetiap wanita Jepang maka apabila ada wanita yang memutuskan untuk menikah dan memiliki anak secara otomatis karir mereka akan terhenti.



***


Daftar Pustaka
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar Offset. 2003
Jolivet, Muriel. Japan : The childless Society? The crisis of Motherhood. New York : Routledge. 1997
Iwao, Sumiko. The Japanese Woman: Traditional Image and Changing Reality. New York: The Free Press.1993
Sugimoto, Yoshio.  An Intrudition to  Japanese  Society, Second Edition. Cambridge : UK.2003
Dampak Karir Terhadap Menurunnya Angka Kelahiran di Jepang. Universitas Bina Nusantara.2007
Rita R. Konsep Chichioya Fuzai dalam Hubungan Ayah dan Anak di Jepang. Universitas Bina Nusantara. 2008
Makalah Nihon Toshi Shakai Mondai Wanita Jepang dalam Konsistensi menjadi Seorang Ibu, Oleh Risma Delviana Siahaan
Jurnal “wanita Jepang dalam karir dan kehidupan sosial
Iwasaki, Anni. Artikel “wanita Jepang Konsisten menjadi seorang Ibu”.Media Indonesia. 2004

FENOMENA JISATSU DI KALANGAN REMAJA JEPANG DILIHAT DARI KONSEP BUNUH DIRI EGOISTIK


Oleh : Iin Diah Indrawati

        Fenomena bunuh diri di Jepang bukanlah suatu hal yang baru saja muncul. Dewasa ini di Jepang dewasa konteks bunuh diri memiliki perbedaan makna dengan seppuku ataupun hara-kiri yang dilakukan oleh para samurai. Bahkan penyebab dan tujuan bunuh diri tersebut menjadi semakin lebih ringan, sehingga bagi masyarakat Jepang tidak sulit untuk memutuskan mengakhiri hidupnya. Bunuh diri disebut Jisatsu dalam bahasa Jepang yang artinya “kegiatan menghilangkan nyawa sendiri”
Seorang anak yang berusia 19 tahun kebawah identik dengan usia sekolah. Hal ini akan menjadi sangat mengerikan apabila melihat fakta anak usia dini sudah berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Pada usia ini seorang anak mulai memasuki usia yang disebut remaja. Remaja mulai menemukan hal-hal yang baru dalam kehidupannya baik yang bersifat positif maupun negatif. Berbagai permasalahan akan bermuncul dan dihadapi para remaja. Biasanya mereka pasti sudah bisa berpikir tentang masalah tersebut tetepi belum bisa menyelesaikannya. Oleh karena itu disinilah peran pentingnya keluarga, teman dan lingkungan sekitar sebagai orang terdekat.
Ikatan pertemanan merupakan hal yang penting bagi remaja usia sekolah, karena sebagian besar waktu mereka dihabiskan di sekolah bersama teman-temannya. Umumnya sekolah di Jepang pun terdapat pengelompokan di antara siswa-siswa. Biasanya pengelompokan itu berdasarkan perbedaan antara yang berkuasa dan tidak berkuasa. Pengertian dari Siswa yang berkuasa disini seperti senioritas, materi, kepandaian, dan faktor lainnya yang dapat menimbulkan perbedaan mencolok. Sehingga kekuasaan sering kali ditunjukkan dengan kekerasan atau ijime yang tidak jarang akan berakhir dengan bunuh diri atau jisatsu.

Konsep Bunuh Diri berdasarkan Teori Durkheim
Seorang sosiolog asal Prancis yaitu Emille Durkheim melihat masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi kehidupan bersama antar sesama manusia, karena ikatan dalam masyarakat dapat menentukan perkembangan manusia pada hal yang paling dalam dari jiwa manusia sebagai individu seperti kepercayaan, keagamaan, pola pikir, kehendak atau keinginan, bahkan hasrat untuk bunuh diri. Hal tersebut bersifat sosial dan terletak di dalam masyarakat.
Menurut Durkheim bunuh diri adalah penyimpangan perilaku seseorang yang terjadi karena benturan dua kutub integrasi dan retulasi yaitu kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri. Dalam hal ini durkheim juga menekankan pentingnya peran agama bagi seseorang untuk menghindarkan diri dari berbagai penyimpangan yang terjadi, karena dalam ajaran agama mencangkup mitos, dogma, dan ritual yang kesemuannya adalah fenomena religius yang dilakukan manusia.
Durkheim membagi fenomena bunuh diri menjadi tiga yaitu bunuh diri egoistik, altruistik dan anomik.
  1. Bunuh Diri Egoistik
Bunuh diri egoistik adalah bunuh diri yang dimotivasi oleh ketidakmampuan individu untuk berintegrasi dengan grupnya yaitu keluarganya, kelompok, dan rekan-rekan. Kondisi ini terjadi karena masyarakat memposisikan individu yang bersangkutan seolah-olah tidak berkepribadian. Tidak berkepribadian artinya tidak memiliki karakteristik baik fisik maupun mental yang sama dengan masyarakat umumnya atau yang memberi penilaian terhadap individu tersebut. Dalam kasus ini orang tersebut hanya memikirkan dirinya dan tidak memperhatikan orang lain. Sehingga ia merasa tersudut yang disebabkan karena egoisme berlebihan yang menyebabkan terjadinya bunuh diri. Dalam hal ini, bunuh diri karena kasus kekerasan seperti ijime dapat dijadikan contoh dari teori di atas.
  1. Bunuh Diri Altruistik
Bunuh Diri Altruistik adalah kebalikan dari tipe bunuh diri egoistik. Semakin besar pengintegrasian seseorang dengan grupnya, makin besar kecendrungan ke arah bunuh diri. Seseorang yang memiliki integrasi kuat dengan grupnya, ketika ia merasa kehilangan kehormatan di dalam grupnya, ia cenderung mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Dalam hal bunuh diri atas dasar ikatan kelompok dan tuntutan masyarakat seperti saat perang seorang anggota militer rela menutup granat dengan badannya untuk menyelamatkan teman-teman. Kasus ini dapat dijadikan contoh dari teori di atas.
  1. Bunuh Diri Anomik
Bunuh diri anomik adalah keadaan moral sesorang yang telah kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidup. Sehingga ia merasa seperti kehilangan pegangan hidup yang kemudian akan menyebabkannya melakukan kecendrungan bunuh diri. Dalam teori ini bunuh diri terjadi  karena gangguan keseimbangan integrasi antara individu dan masyarakat sehingga individu mengalami krisis identitas seperti kebangkrutan, kehilangan pekerjaan, kehilangan teman, malu dengan keadaan lingkungan. Contoh dari teori di atas adalah orang yang seluruh tenaga dan hidupnya telah dikerahkan untuk kesejahteraan keluarganya, lalu tiba-tiba menderita musibah maka akan mengalami krisis emosional berupa tekanan batin yang berujung pada bunuh diri.

Fenomena Jisatsu dikalangan remaja Jepang
        Di Jepang umumnya remaja yang berusia di bawah 19 tahun memiliki kecendrungan tinggi untuk merasa kesepian. Walaupun mereka berada di dalam masyarakat yang ramai dan unik, mereka merasa tidak dapat menyalurkan perasaannya baik pada saudara, orang tua ataupun teman disekitarnya. Sehingga kesepian adalah dampak dari individualitas yang berlaku di lingkungannya.
Kita semua mengetahui bahwa anak muda Jepang memiliki kreatifitas yang tinggi dalam menciptakan seluruh gaya hidup seperti fashion harajuku style, komunitas pecinta anime dan sebagainya. Melihat hal ini seharusnya remaja Jepang dapat didefinissikan sebagai remaja yang pintar, ceria, percaya diri dan kreatif. Namun, sebenarnya remaja Jepang adalah remaja yang kurang percaya diri, selalu merasa kesepian dan bermotivasi rendah dalam menggapai cita-cita. Dampak dari munculnya perilaku seperti diatas adalah rentan akan stress dan depresi. Biasanya, dalam menjalani hidupnya mereka akan bersikap pasrah dan menerima segala keadaan yang datang padanya.
Kesepian yang dirasakannya menjadikan mereka individu yang mudah dijadikan objek ejekan bagi anggota kelompok lain baik dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat. Pada kondisi seperti ini akan timbul tindak kekerasan atau ijime yang ditujukan padanya. Tindakan ijime bukan hanya menimbulkan rasa takut pada korbannya tetapi dapat menimbulkan dampak yang lebih besar yaitu tindakan bunuh diri. Dewasa ini semakin banyak remaja yang melakukan bunuh diri akibat mengalami ijime khususnya di sekolah.
Berdasarkan tiga tipe bunuh diri diatas kasus seorang remaja yang menjadi korban tindak kekerasan atau ijime hingga dapat mengambil tindakan bunuh diri maka kasus ini masuk kedalam tipe bunuh diri egoistik. Alasannya dapat terlihat dari seorang remaja merasakan adanya penolakan dalam lingkungan kelompoknya, remaja tersebut dianggap tidak pantas untuk berada  di dalam kelompok tersebut, sedangkan identitas kelompok merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Jepang. Maka bila ada seseorang remaja di lingkungan sekolahnya dianggap berbeda seperti sifat tertutup dan memiliki masalah dengan teman akan memiliki kesan tidak terima dalam kelompoknya.
Hal ini dapat terlihat dari sebuah kasus yang terjadi di Jepang tepatnya di Fukuoka seorang siswa murid SMP berusia 13 tahun yang bernama Kiyoteru Okochi memutuskan bunuh diri untuk lepas dari ijime teman sekelasnya. Dia meninggalkan catatan yang membuktikan dan mengklarifikasi fakta bahwa dia merasa putus asa dari kekejaman ijime. Sebab dia selalu dipaksa untuk merendamkan wajahnya ke dalam air sungai yang kotor, bahkan sepedanya rusak berulang kali dan teman sekelasnya menuntut agar ia selalu memberikan uang kepada mereka sebesar 1000 yen setiap harinya. Karena tindakan ijime  ini terus menerus dilakukan oleh temannya sehingga ia melakukan bunuh diri sebagai bentuk penyelesaiannya.
Tindakan ijime diatas dapat terlihat dari teman sepermainan (sekolah dan lingkungan sekitar) yang menjadi penyebab utama dalam mendorong remaja melakukan bunuh diri. Seperti kasus yang dialami oleh Kiyoteru Okochi yaitu mendapat tekanan dari teman sekolah berupa ancaman dan hinaan. Hal itu menimbulkan rasa takut dan tidak percaya diri sehingga ia memutuskan untuk mengakhirihidupnya. Timbulnya rasa takut itu disebabkan oleh adanya rasa penolakan yang dilakukan oleh sekolahnya, penolakan ini akan terus dilakukan oleh teman-teman lain karena mereka tidak ingin mengalami tindakan ijime.
 Oleh karena itu apabila ada seorang anak yang sedang diijime, teman-teman lain yang tidak melakukan ijime pun akan menjauhinya. Tentu saja hal ini membuat Kiyoteru Okochi merasa diasingkan di lingkungan sekolah. Kasus diatas merupakan gambaran keadaan seseorang yang merasa ditolak dari lingkungan sekolahnya, sehingga merasa terdiskriminasi oleh kelompoknya sendiri sampai mencoba bunuh diri sejalan dengan konsep bunuh diri egoistis.
Menanggapi peningkatan jumlah kasus bunuh diri pada remaja, pemerintah Jepang mengeluarkan himbauan yaitu anak-anak sebagai generasi penerus Jepang dihimbau untuk bersikap terbuka kepada keluarga dan lingkungannya. Tindakan ijime yang kerap kali menjadi penyebab kasus bunuh diri remaja harus disikapi dengan tenang, terbuka, tidak malu dan tidak takut untuk mengungkapkan apa yang dirasakan. Bila merasa tengah mengalami tindakan ijime tunjukan sikap berani dan tidak terpengaruh oleh hinaan atau kekerasan yang diterima, dengan cara itu pelaku ijime akan mengurungkan niatnya untuk kembali melakukan penganiyaan pada kita atau siapapun. Kemudian yang terpenting adalah keluarga harus memberikan perhatian lebih kepada anak dan para remaja di sekitar mereka.

Kesimpulan
          Kian maraknya kasus bunuh diri di kalangan remaja menjadi sebuah indikasi adanya ketidakmampuan anak dan remaja dalam mengatasi masalahyang dihadapi. Selain itu fenomena bunuh diri tersebut juga merupakan wujud dari kurangnya rasa bertahan hidup yang dimiliki remaja dalam menghadapi stress. Kemudian, fenomena bunuh diri remaja ini secara tidak langsung merupakan bukti dari kegagalan para orang tua, pendidik dan masyarakat sekitar untuk membekali anaknya dengan ketrampilan hidup.
        seorang remaja yang menjadi korban tindak kekerasan atau ijime hingga dapat mengambil tindakan bunuh diri maka kasus ini masuk kedalam tipe bunuh diri egoistis yang dikemukan oleh Durkeim. Dengan alasan utama bagi kalangan remaja adalah budaya penindasan yang dikenal dengan ijime dan terus mengalami perkembangan dalam kehidupan remaja memberikan pengaruh yang cukup besar pada pilihan bunuh diri yang diambil pelaku remaja di Jepang.

DAFTAR PUSTAKA
Handout konsep bunuh diri Emille durkheim
“ Ijime dalam komik-komik Jepang”. Universitas Sumatera Utara