Oleh : Iin
Diah Indrawati
Kehidupan
wanita disetiap negara pastilah memiliki perbedaan. Tentunya, masing-masing
negara memiliki ciri khas tersendiri. Perbedaan disetiap negara itu bisa berupa
kehidupan sosial, karir, dan sebagainya. Bahkan, perbedaan itu pun
sewaktu-waktu dapat berubah ataupun berkembang disetiap negara. Sebab, hal itu
tidak dapat terlepas dari faktor-faktor budaya dan kehidupan masyarakat yang
ada pada saat itu.
Begitu juga dengan
negara Jepang. Jepang pun memiliki ciri khas tersendiri terhadap kehidupan
sosial wanitanya. Kehidupan sosial ini terus mengalami perubahan khususnya
setelah Perang Dunia II berakhir di Jepang, peluang bekerja bagi wanita menjadi
terbuka lebar. Hal tersebut membuat banyak wanita Jepang memilih bekerja dengan
tujuan untuk emansipasi kesetaraan hak dan mengejar karir. Bahkan, meningkatnya
wanita Jepang yang berpendidikan tinggi dan
memiliki kemampuan bekerja yang setara dengan laki-laki membuat kesempatan
tersebut menjadi semakin besar bagi wanita untuk masuk dalam dunia kerja.
Namun, dalam menjalani
kehidupan setiap wanita pasti menjalani kehidupan pernikahan. Dalam menjalani
pernikahan, tentunya wanita diharapkan menjadi seorang ibu rumah tangga yang
dapat mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga sepenuhnya. Bagi masyarakat
Jepang seorang ibu memiliki peranan yang besar di dalam keluarga. Mulai dari
mengurus rumah tangga, merawat dan mendidik anak, serta mengontrol keuangan
rumah tangga. Sehingga, hal tersebut menimbulkan konsep ryousaikenbo di dalam masyarakat Jepang.
Walaupun kesempatan bekerja bagi wanita Jepang saat ini
terbuka lebar, namun banyak wanita Jepang yang ditempatkan dalam posisi yang
tidak begitu penting. Bahkan, wanita yang telah menikah dan memiliki anak tidak
dapat melanjutkan karir mereka seperti wanita lain yang belum menikah. Bagi
wanita Jepang hal tersebut merupakan ketidakadilah gender dalam dunia kerja. Oleh karena itu, dalam makalah ini peneliti
akan menulis mengenai pengaruh
ryousaikenko terhadap karir para wanita Jepang yang telah menikah dan
memiliki anak.
Konsep Ryousaikenbo
Pada zaman Edo para
wanita Jepang telah dididik untuk menjadi istri yang baik dan kelak akan
memiliki rasa tanggung jawab dalam mengurus rumah tangga dan melahirkan anak.
Pada zaman ini konsep ryousaikenbo
belum muncul karena wanita pada saat itu tidak memiliki tanggung jawab yang
penuh atas pendidikan formal bagi anak-anak mereka. Akan tetapi, pada zaman
meiji sekiatar tahun 1867 merupakan awal dimulainya restorasi meiji. Pada masa
itu Jepang sedang berusaha mengejar keterbelakangan dari bangsa barat. Oleh
karena itu, pemerintah mengupayakan dengan cara meningkatkan sistem pendidikan
wanita agar disamaratakan dengan pria karena kenyamanan dan kebahagian di rumah
sangat bergantung pada wanita. Selain itu mendidik anak pada masa pertumbuhan
merupakan tanggung jawab seorang ibu, karena itu masa depan bangsa sangat
tergantung pada pendidikan wanita. (Makalah Nihon Toshi Shakai Mondai Wanita
Jepang dalam Konsistensi menjadi Seorang Ibu, Oleh Risma Delviana Siahaan)
Sekitar tahun 1874, seorang
ahli konfusian yaitu Nakamura mengidentifikasikan peran ibu dalam wanita adalah
sumber kekuatan negara. Ia percaya bahwa wanita yang berpendidikan akan membawa
masyarakat menjadi lebih maju. Sejak saat itu muncullah konsep ryousaikenbo yaitu istri yang baik dan
ibu yang bijaksana. Konsep ini oleh pemerintah semakin gencar diperkenalkan dan
ditanamkan kepada para wanita Jepang agar selain menjadi istri yang baik juga
dapat menjadi ibu yang bijaksana dan memperhatikan pendidikan anak-anak mereka.
Bila memiliki ibu yang baik dan pandai maka anak mereka pun akan pandai dan
Jepang pun akan menjadi negara yang maju. Maka untuk menciptakan ibu yang baik,
tidak ada cara lain selain, mendidik para wanita sejak dini dengan menanamkan
konsep ryousaikenbo. (Rita R. Konsep
Chichioya fuzai dalam hubungan ayah dan anak di Jepang. Universitas Binus.
2008)
Sebenarnya, ryousaikenbo merupakan awal dari
pandangan wanita Jepang modern. Hal ini disebabkan karena sebelum zaman meiji,
para wanita hanya berperan sebagai orang melahirkan anak saja serta tidak
diperbolehkan mengurus anaknya sendiri.
Tetapi sejak konsep ryousaikebo mulai
diterapkan pada zaman meiji, wanita pun harus turut berperan aktif dalam
mendidik anak. Bahkan, konsep ryousaikenbo
ini semakin diperkuat bahwa keluarga dianggap sebagai rumah. Dengan maksud
bahwa di dalam rumah para anggota keluarga akan dirawat secara penuh kasih
sayang oleh istri atau ibu.
Meskipun wanita Jepang
telah mengalami kemajuan pada zaman itu namun, tetap saja dilakukan pemisahan
kelas bagi pria dan wanita. Bahkan, pada saat itu pekerjaan bagi wanita Jepang sangat
dibatasi serta pendidikan bagi wanita hanya dapat sampai SMU. Sehingga dapat
dikatakan bahwa, konsep ryousaikenbo
sebagai awal dari dimulainya ketidakadilan gender
bagi wanita Jepang. Dimana seorang wanita yang telah menikah dan memiliki anak
harus secara penuh mengurus rumah tangga dan merawat anak serta patuh terhadap
segala keputusan suami.
Atas dasar konsep ryousaikenbo ini wanita Jepang harus
dapat berperan sebagai istri yang baik dan mengatur keadaan rumah dan melayani
kebutuhan keluarga terutama suami dan dapat juga bereran sebagai ibu yang
bijaksana dalam menyerahkan diri sepenuhnya untuk mendidik anak. Sehingga kedua
hal tersebut menjadi prioritas utama. (Rita R. Konsep Chichioya fuzai dalam
hubungan ayah dan anak di Jepang. Universitas Bina Nusantara. 2008)
Karir Para Ibu Muda Jepang
Ketika perang Dunia II berakhir di Jepang, tingkat pendidikan pada
kehidupan wanita Jepang pun telah mengalami perkembangan. Jika, sebelum perang
dunia II wanita Jepang hanya diperbolehkan melanjutkan pendidikan sampai SMU,
tetapi sekarang sudah banyak para wanita Jepang saat ini dapat melanjutkan
pendidikan hingga tingkat Universitas. Akibat hal tersebut, persaingan dalam
dunia kerja dan peluang bekerja bagi wanita Jepang terbuka lebar. (Dampak karir
terhadap menurunnya angka kelahiran di Jepang. Universitas Bina Nusantara.2007)
Wanita
yang memiliki latar pendidikan yang tinggi maka secara otomatis akan
mendapatkan pekerjaan yang baik pula. Akibatnya, banyak perusahaan bertaraf
internasional di Jepang yang menerima para wanita yang berasal dari lulusan
Universitas. Kemudian, dengan memiliki pekerjaan yang bagus para wanita
tersebut pasti akan mendapatkan gaji yang tinggi. Hal ini tentunya akan membuat
wanita Jepang semakin termotivasi untuk terus bekerja walaupun telah menikah.
Akan
tetapi, di Jepang kesempatan untuk bekerja setelah menikah dan memiliki anak
adalah hal cukup sulit dilakukan. Alasannya, banyak perusahaan Jepang yang
diawal memberikan kontrak sebagai wanita karir atau tidak. Jika tidak, setelah
ia menikah dan memiliki anak maka ia harus berhenti dari perusahaan untuk
merawat anak dan nantinya tidak bisa kembali bekerja di perusahaan tersebut dengan
posisi yang sama. Hal tersebut, mengakibatkan banyak wanita Jepang hanya dapat
bekerja untuk waktu yang relatif singkat di dalam perusahaan. (Makalah Nihon
Toshi Shakai Mondai Wanita Jepang dalam Konsistensi menjadi Seorang Ibu, Oleh
Risma Delviana Siahaan)
Hal ini pun semakin
ditegaskan oleh Iwao Sumiko dalam bukunya The
Japanese Woman: Traditional Image and Changing Reality yang menggambarkan
bagaimana pola kehidupan pekerja wanita dan pria Jepang pada tahun 1982 dari
usia 25 tahun hingga usia 65 tahun, yang membentuk grafik sebagai berikut:
|
Gambar Survey Dasar Mengenai
Komposisi Pekerja Tahun 1982
Grafik tersebut membentuk “kurva M” dan kurva tersebut
menggambarkan bahwa pada usia 20-24 tahun baik pria maupun wanita Jepang
memiliki pekerjaan untuk pria 80% dan wanita 70%, tetapi pada usia 25-34 tahun
wanita Jepang yang telah menikah dan bekerja presentasenya hanya 40% sedangkan
dengan wanita Jepang lajang yang bekerja presentasenya 79%. Kemudian di usia
35-54 tahun wanita Jepang bekerja yang telah menikah presentasenya 60%
sedangkan wanita Jepang lajang dan
bekerja presentasenya 80%.
Kurva berbentuk “M” terjadi karena dipengaruhi oleh siklus
kehidupan wanita Jepang yang terdiri dari empat fase yaitu fase pertama adalah
fase menjadi dewasa, bersekolah dan bekerja. Fase kedua adalah menikah,
melahirkan dan membesarkan anak. kemudian fase ketiga adalah fase kehidupan
setelah membesarkan anak dan yang terakhir fase keempat adalah masa tua.
(Sugitomo 2003:154 )
Kemudian, hal tersebut semakin
diperkuat dengan contoh kasus yang ditulis oleh Jolivet dalam bukunya Japan: The Childless
Society? The Crisis of Motherhood (2006:31), ia
memberikan contoh kasus mengenai seorang ibu muda Jepang yang harus berhenti
bekerja karena harus mengurus rumah tangga dan merawat anak.
Mrs A, after four years of
study, spent five years working in publicity and then was excluded from
professional circles when she became pregnant. She told the baby help line that
her husband opposed her continuing to work because she had reached the right
age (about 27 or 28)to have a child. Filled with regret at having to break her
career and feeling herself to be the victim of her husband’s decision, she did
not find her child ‘lovable’. Childcare was an overwhelming experience and the
fact that she never had a minute to herself to read a book or the newspaper was
positively frustrating. She found the task irksome and exasperating and
whenever the child refused his feeed she admitted to feeling tempted to throw
the bottle to the ground.
Terjemahan:
seorang ibu muda di Jepang
yang berinisial “A” setelah 4 tahun lamanya bersekolah dan menghabiskan 5 tahun waktunya untuk bekerja
di sebuah perusahaan, dikucilkan dari rekan kerjanya ketika dirinya tengah mengandung. Bahkan, dia
mengatakan kepada baby help line bahwa
suaminya melarang ia melanjutkan pekerjaannya karena dia telah mencapai usia
yang tepat yaitu sekitar 27 atau 28 tahun untuk memiliki anak. Dengan diliputi
perasaan penyesalan karena ia harus berhenti dari karirnya untuk sementara dan
dia merasa dirinya menjadi korban dari keputusan suaminya sehingga dia tidak
dapat menemukan perasaan untuk menyayangi anaknya. Merawat anak adalah
pengalaman yang luar biasa tetapi kenyataannya dia tidak mempunyai waktu
semenit pun untuk sekedar membaca buku ataupun koran hingga akhirnya ia merasa
benar-benar frustasi. Dia seperti menemukan tugas yang menjemukan dan
menjengkelkan ketika anaknya menolak makanan yang diberikan olehnya, bahkan dia
merasa terpancing untuk melemparkan botol sang anak ke tanah.
Contoh kasus
diatas sangat menunjukkan bahwa ibu muda tersebut mengalami dilema saat rekan
kerjanya memaksa ia secara tidak langsung agar berhenti bekerja karena tengah
mengandung bahkan bukannya itu saja suaminya pun juga melarang ia untuk bekerja
karena tugas sebenarnya bagi seorang wanita yang telah menikah adalah mengurus
rumah tangga dan merawat anak.
Ketidakadilan
gender dan Pengaruh ryousaikenbo
Terhadap Karir Ibu Muda di Jepang
Sejak berakhirnya perang dunia II di Jepang, tenaga kerja wanita mulai
banyak bermunculan disegala bidang pekerjaan. Bahkan, mereka dapat secara bebas
mengikuti pendidikan sama seperti pria. Para wanita yang memiliki pendidikan
tinggi dapat bekerja diberbagai macam perkantoran di Jepang. Walaupun para
wanita telah memperoleh kebebasan dalam memperoleh pendidikan hingga tingkat
Universitas namun tidak dapat dielakkan bahwa apabila kelak ia menikah dan
menjadi seorang ibu maka ia harus melaksanakan perannya secara penuh sebagai
ibu rumah tangga sesuai dengan konsep ryousaikenbo.
Dimana proritas utama menjadi seorang ibu adalah harus mengurus rumah tangga
dan merawat anak.
Wanita
yang bekerja dan telah menikah apabila ia beristirahat dari pekerjaannya karena
harus merawat anaknya dan kemudian memutuskan kembali lagi untuk memasuki dunia
kerja, biasanya akan sulit diterima di dalam perusahaan lamanya atau kalau pun
diterima dalam perusahaan yang dahulu biasanya akan mendapatkan posisi
pekerjaan yang lebih rendah daripada posisi pekerjaannya sebelum menikah. Kebanyakan
wanita yang telah berhenti bekerja saat menikah tidak akan bisa memperoleh
jenis pekerjaan yang sama dengan pekerjaan yang telah dia tinggalkan
sebelumnya, karena dibutuhkan jenjang karir yang panjang untuk memperoleh
posisi manajer dalam sebuah perusahaan.
Peneliti
berpendapat bahwa, salah satu penyebab wanita Jepang yang telah menikah dan
memiliki anak harus berhenti bekerja adalah adanya pengaruh dari konsep ryousaikenbo. Dimana dalam konsep ryousaikenbo diajarkan bahwa kunci
sukses sebuah rumah tangga adalah wanita dapat berperan sebagai istri yang baik
dan mengatur keadaan rumah dan melayani kebutuhan keluarga terutama suami dan
dapat juga bereran sebagai ibu yang bijaksana dalam menyerahkan diri sepenuhnya
untuk mendidik anak. Serta mereka meyakini bahwa mendidik anak dengan kemampuan
sendiri akan membuahkan hasil yang lebih baik yaitu bila memiliki ibu yang
pandai maka anak mereka pun akan pandai.
Kemudian
dengan melihat grafik yang berbentuk kurva “M” yang ada dibagian atas dapat
disimpulkan bahwa wanita yang bekerja pada usia 25~34 tahun dan berada di fase
dua yaitu fase melahirkan dan membesarkan anak, presentasenya mengalami
penurunan. Tetapi setelah selesai menghadapi fase dua, yaitu wanita yang berada
di fase ketiga ketika berusia 35~50 tahun presentasenya kembali meningkat. Berdasarkan
hal tersebut peneliti berpendapat bahwa menurunnya presentase wanita Jepang
yang berada dalam fase dua adalah disebabkan karena setiap wanita Jepang yang
bekerja apabila memutuskan untuk menikah dan memiliki anak maka secara otomatis
mereka harus meninggal pekerjaan mereka dan bekerja sebagai ibu rumah tangga
sesuai dengan konsep ryousaikenbo
yaitu istri yang bijaksana dan ibu yang baik bagi anak dan suami mereka.
Akan tetapi,
bagi wanita Jepang berhenti bekerja karena harus mengurus rumah tangga dan
merawat anak adalah sebuah ketidakadilan gender.
Menurut Mansour Fakih dalam bukunya Analisis
Gender dan transformasi sosial (2003:74) ia menjelaskan gender dan stereotipe secara umum yaitu
Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau
penandaan terhadap suatu kelompok. Stereotipe adalah pelabelan negatif terhadap
jenis kelamin tertentu dan akibat dari stereotipe itu terjadi diskriminasi
serta berbegai ketidakadilan yang lainnya. Dalam masyarakat banyak sekali
stereotipe yang dilekatkan kepada kaum perempuan yang berakibat membatasi,
menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Karena adanya keyakinan
masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah (bread winner) misalnya, setiap pekerjaan yang dilakukan oleh
perempuan dinilai tambahan dan oleh karenanya boleh saja dibayar lebih rendah.
Berdasarkan kutipan
diatas stereotipe termasuk salah satu
ketidakadilan gender. Dimana stereotipe adalah pelabelan terhadap
suatu kelompok tertentu. Kelompok yang dimaksud adalah wanita. Dimana dalam
masyarakat wanita selalu diidentikan sebagai kaum yang lemah. Dengan melihat
hal tersebut peneliti berpendapat bahwa pengaruh ryousaikenbo terhadap karir wanita Jepang yang telah menikah dan
memiliki anak hingga harus berhenti dari pekerjaan termasuk dalam stereotipe. Alasannya adalah karena
adanya pelabelan atau citra ryousaikenbo
disetiap wanita Jepang maka apabila ada wanita yang memutuskan untuk menikah
dan memiliki anak secara otomatis karir mereka akan terhenti.
Kemudian, berdasarkan contoh
kasus yang dikemukan oleh Jolivet (2006:31) diatas dapat disimpulkan bahwa ibu
muda tersebut sedang mengalami dilema, antara memilih pekerjaan dan mengurus
anak serta keluarga walaupun pada akhirnya ibu muda tersebut akhirnya memilih
mengurus rumah dan merawat anak. Peneliti berpendapat bahwa dari contoh kasus
tersebut sangat membuktikan bahwa konsep
ryousaikenbo sangat mengakar dan terlihat jelas di dalam kehidupan
masyarakat Jepang. Bahkan, contoh kasus tersebut sangat menggambarkan betapa
ibu muda itu terlihat tidak dapat berbuat apapun selain mengikuti hal tersebut
yaitu berhenti bekerja.
Bahkan, hal tersebut pun termasuk dalam ketidakadilan gender stereotipe dimana
seorang wanita yang telah menikah dan memiliki anak itu harus berhenti bekerja
dan mengurus rumah tangga secara penuh, merawat dan mendidik anak, serta
mengurus keuangan rumah tangga.
Kesimpulan
Pada era meiji muncullah sebuah
konsep ryousaikenbo yang artinya
istri yang baik dan ibu yang bijaksana. Dimana dalam konsep ryousaikenbo ini wanita Jepang harus
dapat berperan sebagai istri yang baik dan mengatur keadaan rumah dan melayani
kebutuhan keluarga terutama suami dan dapat juga bereran sebagai ibu yang
bijaksana dalam menyerahkan diri sepenuhnya untuk mendidik anak. Sehingga kedua
hal tersebut menjadi prioritas utama bagi setiap wanita Jepang yang telah
menikah dan memiliki anak.
Ketika
perang Dunia II berakhir di Jepang, tingkat pendidikan pada kehidupan wanita Jepang
pun telah mengalami perkembangan. Akibatnya, persaingan dalam dunia kerja dan
peluang bekerja bagi wanita Jepang terbuka lebar. Tetapi, di Jepang kesempatan
untuk bekerja setelah menikah dan memiliki anak adalah hal cukup sulit
dilakukan. Bahkan, hal ini pun semakin ditegaskan dalam bentuk grafik yang
berbentuk kurva “M”. Dimana dalam grafik itu diterangkan bahwa wanita yang
bekerja pada usia 25~34 tahun dan berada di fase dua yaitu fase melahirkan dan
membesarkan anak, presentasenya mengalami penurunan. Tetapi setelah selesai
menghadapi fase dua, yaitu wanita yang berada di fase ketiga ketika berusia
35~50 tahun presentasenya kembali meningkat. disebabkan karena setiap wanita
Jepang yang bekerja apabila memutuskan untuk menikah dan memiliki anak maka secara
otomatis mereka harus meninggal pekerjaan mereka dan bekerja sebagai ibu rumah
tangga sesuai dengan konsep ryousaikenbo
yaitu istri yang bijaksana dan ibu yang baik bagi anak dan suami mereka.
Bahkan hal
ini pun semakin diperkuat oleh contoh kasus yang menggambarkan bagaimana
dilemanya seorang ibu muda Jepang antara memilih pekerjaan dan mengurus anak
serta keluarga walaupun pada akhirnya ibu muda tersebut akhirnya memilih
mengurus rumah dan merawat anak. contoh kasus tersebut sangat membuktikan bahwa
konsep ryousaikenbo sangat mengakar
dan terlihat jelas di dalam kehidupan masyarakat Jepang.
Peneliti
berpendapat bahwa, berdasarkan dari grafik dan contoh kasus diatas terlihat
jelas pengaruh ryousaikenbo terhadap
karir wanita Jepang yang telah menikah dan memiliki anak hingga harus berhenti
dari pekerjaan termasuk dalam stereotipe.
Alasannya adalah karena adanya pelabelan atau citra ryousaikenbo disetiap wanita Jepang maka apabila ada wanita yang
memutuskan untuk menikah dan memiliki anak secara otomatis karir mereka akan
terhenti.
***
Daftar Pustaka
Fakih, Mansour. Analisis
Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar Offset. 2003
Jolivet, Muriel. Japan
: The childless Society? The crisis of Motherhood. New York : Routledge.
1997
Iwao, Sumiko. The
Japanese Woman: Traditional Image and Changing Reality. New York: The Free
Press.1993
Sugimoto, Yoshio. An Intrudition to Japanese Society, Second Edition. Cambridge :
UK.2003
Dampak Karir
Terhadap Menurunnya Angka Kelahiran di Jepang. Universitas Bina Nusantara.2007
Rita R. Konsep
Chichioya Fuzai dalam Hubungan Ayah dan Anak di Jepang. Universitas Bina
Nusantara. 2008
Makalah Nihon Toshi
Shakai Mondai Wanita Jepang dalam Konsistensi menjadi Seorang Ibu, Oleh
Risma Delviana Siahaan
Jurnal “wanita Jepang dalam karir dan kehidupan sosial”
Iwasaki,
Anni. Artikel “wanita Jepang Konsisten
menjadi seorang Ibu”.Media Indonesia. 2004
makasi infonya mbak ^^
BalasHapussip mba semoga bermanfaat ya..
Hapusmakalah nihon toshi sebenarnya oleh risma atau takadewa niko? karena saya juga menemukan makalah nihon toshi tp yang membuat takadewa niko.?
BalasHapus