Minggu, 22 Juli 2012

FENOMENA JISATSU DI KALANGAN REMAJA JEPANG DILIHAT DARI KONSEP BUNUH DIRI EGOISTIK


Oleh : Iin Diah Indrawati

        Fenomena bunuh diri di Jepang bukanlah suatu hal yang baru saja muncul. Dewasa ini di Jepang dewasa konteks bunuh diri memiliki perbedaan makna dengan seppuku ataupun hara-kiri yang dilakukan oleh para samurai. Bahkan penyebab dan tujuan bunuh diri tersebut menjadi semakin lebih ringan, sehingga bagi masyarakat Jepang tidak sulit untuk memutuskan mengakhiri hidupnya. Bunuh diri disebut Jisatsu dalam bahasa Jepang yang artinya “kegiatan menghilangkan nyawa sendiri”
Seorang anak yang berusia 19 tahun kebawah identik dengan usia sekolah. Hal ini akan menjadi sangat mengerikan apabila melihat fakta anak usia dini sudah berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Pada usia ini seorang anak mulai memasuki usia yang disebut remaja. Remaja mulai menemukan hal-hal yang baru dalam kehidupannya baik yang bersifat positif maupun negatif. Berbagai permasalahan akan bermuncul dan dihadapi para remaja. Biasanya mereka pasti sudah bisa berpikir tentang masalah tersebut tetepi belum bisa menyelesaikannya. Oleh karena itu disinilah peran pentingnya keluarga, teman dan lingkungan sekitar sebagai orang terdekat.
Ikatan pertemanan merupakan hal yang penting bagi remaja usia sekolah, karena sebagian besar waktu mereka dihabiskan di sekolah bersama teman-temannya. Umumnya sekolah di Jepang pun terdapat pengelompokan di antara siswa-siswa. Biasanya pengelompokan itu berdasarkan perbedaan antara yang berkuasa dan tidak berkuasa. Pengertian dari Siswa yang berkuasa disini seperti senioritas, materi, kepandaian, dan faktor lainnya yang dapat menimbulkan perbedaan mencolok. Sehingga kekuasaan sering kali ditunjukkan dengan kekerasan atau ijime yang tidak jarang akan berakhir dengan bunuh diri atau jisatsu.

Konsep Bunuh Diri berdasarkan Teori Durkheim
Seorang sosiolog asal Prancis yaitu Emille Durkheim melihat masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi kehidupan bersama antar sesama manusia, karena ikatan dalam masyarakat dapat menentukan perkembangan manusia pada hal yang paling dalam dari jiwa manusia sebagai individu seperti kepercayaan, keagamaan, pola pikir, kehendak atau keinginan, bahkan hasrat untuk bunuh diri. Hal tersebut bersifat sosial dan terletak di dalam masyarakat.
Menurut Durkheim bunuh diri adalah penyimpangan perilaku seseorang yang terjadi karena benturan dua kutub integrasi dan retulasi yaitu kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri. Dalam hal ini durkheim juga menekankan pentingnya peran agama bagi seseorang untuk menghindarkan diri dari berbagai penyimpangan yang terjadi, karena dalam ajaran agama mencangkup mitos, dogma, dan ritual yang kesemuannya adalah fenomena religius yang dilakukan manusia.
Durkheim membagi fenomena bunuh diri menjadi tiga yaitu bunuh diri egoistik, altruistik dan anomik.
  1. Bunuh Diri Egoistik
Bunuh diri egoistik adalah bunuh diri yang dimotivasi oleh ketidakmampuan individu untuk berintegrasi dengan grupnya yaitu keluarganya, kelompok, dan rekan-rekan. Kondisi ini terjadi karena masyarakat memposisikan individu yang bersangkutan seolah-olah tidak berkepribadian. Tidak berkepribadian artinya tidak memiliki karakteristik baik fisik maupun mental yang sama dengan masyarakat umumnya atau yang memberi penilaian terhadap individu tersebut. Dalam kasus ini orang tersebut hanya memikirkan dirinya dan tidak memperhatikan orang lain. Sehingga ia merasa tersudut yang disebabkan karena egoisme berlebihan yang menyebabkan terjadinya bunuh diri. Dalam hal ini, bunuh diri karena kasus kekerasan seperti ijime dapat dijadikan contoh dari teori di atas.
  1. Bunuh Diri Altruistik
Bunuh Diri Altruistik adalah kebalikan dari tipe bunuh diri egoistik. Semakin besar pengintegrasian seseorang dengan grupnya, makin besar kecendrungan ke arah bunuh diri. Seseorang yang memiliki integrasi kuat dengan grupnya, ketika ia merasa kehilangan kehormatan di dalam grupnya, ia cenderung mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Dalam hal bunuh diri atas dasar ikatan kelompok dan tuntutan masyarakat seperti saat perang seorang anggota militer rela menutup granat dengan badannya untuk menyelamatkan teman-teman. Kasus ini dapat dijadikan contoh dari teori di atas.
  1. Bunuh Diri Anomik
Bunuh diri anomik adalah keadaan moral sesorang yang telah kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidup. Sehingga ia merasa seperti kehilangan pegangan hidup yang kemudian akan menyebabkannya melakukan kecendrungan bunuh diri. Dalam teori ini bunuh diri terjadi  karena gangguan keseimbangan integrasi antara individu dan masyarakat sehingga individu mengalami krisis identitas seperti kebangkrutan, kehilangan pekerjaan, kehilangan teman, malu dengan keadaan lingkungan. Contoh dari teori di atas adalah orang yang seluruh tenaga dan hidupnya telah dikerahkan untuk kesejahteraan keluarganya, lalu tiba-tiba menderita musibah maka akan mengalami krisis emosional berupa tekanan batin yang berujung pada bunuh diri.

Fenomena Jisatsu dikalangan remaja Jepang
        Di Jepang umumnya remaja yang berusia di bawah 19 tahun memiliki kecendrungan tinggi untuk merasa kesepian. Walaupun mereka berada di dalam masyarakat yang ramai dan unik, mereka merasa tidak dapat menyalurkan perasaannya baik pada saudara, orang tua ataupun teman disekitarnya. Sehingga kesepian adalah dampak dari individualitas yang berlaku di lingkungannya.
Kita semua mengetahui bahwa anak muda Jepang memiliki kreatifitas yang tinggi dalam menciptakan seluruh gaya hidup seperti fashion harajuku style, komunitas pecinta anime dan sebagainya. Melihat hal ini seharusnya remaja Jepang dapat didefinissikan sebagai remaja yang pintar, ceria, percaya diri dan kreatif. Namun, sebenarnya remaja Jepang adalah remaja yang kurang percaya diri, selalu merasa kesepian dan bermotivasi rendah dalam menggapai cita-cita. Dampak dari munculnya perilaku seperti diatas adalah rentan akan stress dan depresi. Biasanya, dalam menjalani hidupnya mereka akan bersikap pasrah dan menerima segala keadaan yang datang padanya.
Kesepian yang dirasakannya menjadikan mereka individu yang mudah dijadikan objek ejekan bagi anggota kelompok lain baik dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat. Pada kondisi seperti ini akan timbul tindak kekerasan atau ijime yang ditujukan padanya. Tindakan ijime bukan hanya menimbulkan rasa takut pada korbannya tetapi dapat menimbulkan dampak yang lebih besar yaitu tindakan bunuh diri. Dewasa ini semakin banyak remaja yang melakukan bunuh diri akibat mengalami ijime khususnya di sekolah.
Berdasarkan tiga tipe bunuh diri diatas kasus seorang remaja yang menjadi korban tindak kekerasan atau ijime hingga dapat mengambil tindakan bunuh diri maka kasus ini masuk kedalam tipe bunuh diri egoistik. Alasannya dapat terlihat dari seorang remaja merasakan adanya penolakan dalam lingkungan kelompoknya, remaja tersebut dianggap tidak pantas untuk berada  di dalam kelompok tersebut, sedangkan identitas kelompok merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Jepang. Maka bila ada seseorang remaja di lingkungan sekolahnya dianggap berbeda seperti sifat tertutup dan memiliki masalah dengan teman akan memiliki kesan tidak terima dalam kelompoknya.
Hal ini dapat terlihat dari sebuah kasus yang terjadi di Jepang tepatnya di Fukuoka seorang siswa murid SMP berusia 13 tahun yang bernama Kiyoteru Okochi memutuskan bunuh diri untuk lepas dari ijime teman sekelasnya. Dia meninggalkan catatan yang membuktikan dan mengklarifikasi fakta bahwa dia merasa putus asa dari kekejaman ijime. Sebab dia selalu dipaksa untuk merendamkan wajahnya ke dalam air sungai yang kotor, bahkan sepedanya rusak berulang kali dan teman sekelasnya menuntut agar ia selalu memberikan uang kepada mereka sebesar 1000 yen setiap harinya. Karena tindakan ijime  ini terus menerus dilakukan oleh temannya sehingga ia melakukan bunuh diri sebagai bentuk penyelesaiannya.
Tindakan ijime diatas dapat terlihat dari teman sepermainan (sekolah dan lingkungan sekitar) yang menjadi penyebab utama dalam mendorong remaja melakukan bunuh diri. Seperti kasus yang dialami oleh Kiyoteru Okochi yaitu mendapat tekanan dari teman sekolah berupa ancaman dan hinaan. Hal itu menimbulkan rasa takut dan tidak percaya diri sehingga ia memutuskan untuk mengakhirihidupnya. Timbulnya rasa takut itu disebabkan oleh adanya rasa penolakan yang dilakukan oleh sekolahnya, penolakan ini akan terus dilakukan oleh teman-teman lain karena mereka tidak ingin mengalami tindakan ijime.
 Oleh karena itu apabila ada seorang anak yang sedang diijime, teman-teman lain yang tidak melakukan ijime pun akan menjauhinya. Tentu saja hal ini membuat Kiyoteru Okochi merasa diasingkan di lingkungan sekolah. Kasus diatas merupakan gambaran keadaan seseorang yang merasa ditolak dari lingkungan sekolahnya, sehingga merasa terdiskriminasi oleh kelompoknya sendiri sampai mencoba bunuh diri sejalan dengan konsep bunuh diri egoistis.
Menanggapi peningkatan jumlah kasus bunuh diri pada remaja, pemerintah Jepang mengeluarkan himbauan yaitu anak-anak sebagai generasi penerus Jepang dihimbau untuk bersikap terbuka kepada keluarga dan lingkungannya. Tindakan ijime yang kerap kali menjadi penyebab kasus bunuh diri remaja harus disikapi dengan tenang, terbuka, tidak malu dan tidak takut untuk mengungkapkan apa yang dirasakan. Bila merasa tengah mengalami tindakan ijime tunjukan sikap berani dan tidak terpengaruh oleh hinaan atau kekerasan yang diterima, dengan cara itu pelaku ijime akan mengurungkan niatnya untuk kembali melakukan penganiyaan pada kita atau siapapun. Kemudian yang terpenting adalah keluarga harus memberikan perhatian lebih kepada anak dan para remaja di sekitar mereka.

Kesimpulan
          Kian maraknya kasus bunuh diri di kalangan remaja menjadi sebuah indikasi adanya ketidakmampuan anak dan remaja dalam mengatasi masalahyang dihadapi. Selain itu fenomena bunuh diri tersebut juga merupakan wujud dari kurangnya rasa bertahan hidup yang dimiliki remaja dalam menghadapi stress. Kemudian, fenomena bunuh diri remaja ini secara tidak langsung merupakan bukti dari kegagalan para orang tua, pendidik dan masyarakat sekitar untuk membekali anaknya dengan ketrampilan hidup.
        seorang remaja yang menjadi korban tindak kekerasan atau ijime hingga dapat mengambil tindakan bunuh diri maka kasus ini masuk kedalam tipe bunuh diri egoistis yang dikemukan oleh Durkeim. Dengan alasan utama bagi kalangan remaja adalah budaya penindasan yang dikenal dengan ijime dan terus mengalami perkembangan dalam kehidupan remaja memberikan pengaruh yang cukup besar pada pilihan bunuh diri yang diambil pelaku remaja di Jepang.

DAFTAR PUSTAKA
Handout konsep bunuh diri Emille durkheim
“ Ijime dalam komik-komik Jepang”. Universitas Sumatera Utara

2 komentar:

  1. kak boleh nanya ga kak?
    selain dari pemaparan yang kakak tulis ada lagi ga kak informasi yang berhubungan dengan jisatsu yang kakak tau ?
    makasi kak, saya harap kakak mau membalas komentar saya ini

    BalasHapus
  2. Artikel yang menarik... semoga blognya terus berkembang... Saya ingin berbagi wawancara dengan Akira Kurosawa (imajiner) di http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/04/wawancara-dengan-akira.html

    BalasHapus