Makanan yang paling
tipikal di masa pertumbuhan ekonomi Jepang yang tinggi barang kali dapat
diwakili dengan jenis makana instant seperti ramen instant.
Tahun1958, Perusahaan Nisshin menjual chikin ramen dan
dimulailah, booming makanan instant. Ketika itu, dalam hal pembungkusan telah
dikembangkan plastik yang bermutu anti lembap sehingga hasilnya dalam hal
pemyimpanan pun mengalami kemajuan. Di tahun 1971, dalam ramen instant
dimunculkan cup ramen yang kabarnya ditetapkan menjadi makanan nasional. Waktu
itu, karena pemuda yang tinggal sendiri dan para mahasiswa sering makan makanan
instant, akhirnya menimbulkan gangguan gizi sehingga menjadi pokok pembicaraan.
Hal itu disebabkan karena banyaknya obat pencegah oksidasi, zat pembeku
sintesis, bahan pewarna makanan dan bahan tambahan lainnya yang tidak digunakan
sewajarnya. Disamping itu juga, ketika itu hanya sedikit orang yang
memperhatikan bahaya dari zat-zat pengawet tersebut.
Tambahan lagi, di tahun 1960 Perusahaan Morikouri di Jepang
untuk pertama kalinya telah menjual kopi instant. Instant atau tidak instant
pada waktu itu bisa disebut hanya dengan kopi dapat bahagia. Khususnya
dalam penukaran hadiah seperti chugen, seibou dan lainnya. Masyarakat Jepang
memberikan kopi instant sebgai barang mewah atau berkualitas tinggi. Lain dari
itu, miso shiru instant, potato chips, dan lainnya serta industri makanan instant
lainnya berkembang sangat pesat di jepang. Terlepas dari rasa, manfaat yang
utama dari menyebarluasnya makanan instant adalah hanya dengan mengaduk-aduk
saja. Dasar ini yang mengharuskan kepraktisan cukup untuk masyarakat Jepang.
Kepopuleran Makanan Beku
Kepopuleran makanan instant yang hebat sekali kian bertambah,
makanan beku pun mulai meluas dalama masyarakat Jepang karena hanya perlu
mencairkan dan memasaknnya saja. Di tahun 1930 makanan beku telah dikembangkan
dengan cara sistem berantai secara terus menerus. Pada tahun yang sama makanan
beku telah menyebar dan menjadi makanan umum, karena dapat diproduksi secara
masal serta prosesnya hanya dengan dibekukan. Kalau jarang ada waktu untuk
memasak, ada beberpaa pilihan makanan olahan yang baik dan mudah dilakukan
seperti kroket yang hanya digoreng dengan minyak, makanan yang digoreng
setengah masak, gyoza yang hanya dibakar dengan wajan dan kue manjyu yang hanya
dikukus seperti siomay.
Setelah menyebarnya kulkas di Jepang, tidak perlu menunggu
barang sampai habis tapi kapan saja bisa membeli daging, ikan sayur-sayuran.
Kehidupan masyarakat Jepang pada masa itu, tidak mempunyai waktu yang banyak
untuk menyimpan bahan makanan dalam jumlah yang banyak di kulkas. Di tahun
1965, kira-kira presentase penyebaran kulkas meningkat 50% kemudian lahirlan
kulkas 2 pintu. Kira-kira semenjak waktu itu, kulkas menjadi hal yang penting
dalam hal menyimpan bahan manakan rumah tangga. Pada waktu yang sama, ide untuk
menyimpan makanan dalam suhu normal menjadi berkurang. Hingga sekarang, pasti
bisa menyimpan miso, soyu atau jamu, tsukudani, umeboshi di dalam kulkas.
Kesimpulannya, menyebarnya kulkas listrik srta ukurannya yang
besar mempunyai pengaruh yang kuat dalam hal makanan beku. Dan lagi, seiring
meluasnya kulkas perkembangan wadah pun telah maju sehingga memudahkan kulkas
dapa diterima dalam masyarakat. Serta
bentuk yang bulat dan bentuk segitiganya yang dapat mudah di tumpuk tinggi
kemudian ada juga bentuk wadah menyerupai stocking menjadikan barang dagangan
yang laris terjual. Setelah tahun 1970, makanan beku menjadi beredar di pasar
dalam jumlah yang banyak tetapi, hasil penjualan wadah yang digunakan untuk
kulkas dalam 1 tahun presentasenya telah melampaui perkembangan sekitar 30%.
Dari Makanan Instan Menuju makanan Retort
Disamping itu, makanan retort adalah makanan kaleng yang
sudah ada semenjak sebelum perang dan berubah dalam variasi plastik krep.
Makanan retort mengalami perubahan dan perkembangan dalam hal pembungkusan
bahan makanannya yang didukung dengan sterilisasi dan suhu ynag tinggi, jadi
makanan retort adalah makanan yang hanya dipanaskan saja.
Ketika itu, penjualan makanan retort dipopulerkan melalui
iklan komersial [ kare adalah masakan andalan ayah di rumah] hal ini menjadi
suatu slogan bahwa hal yang teringat dari makanan retort pasti kare.
Jika
dibandingkan melalui alasan pembeliannya, memang makanan instant lebih sulit
diterima dibandingkan dengan makanan beku dan makanan retort mungkin karena
makanan ini adalah makanan sederhana namun memiliki rasa yang hampir mirip
dengan aslinya.dalam perkembangan ekonomi yang tinggi ini kebutuhan akan makan
makanan alami dan sehat sedang menghilang. Disisi lain, tidak bisa diingkari
bahwa hasrat ingin makan makanan asli sedang meningkat. Pada waktu itu,
tezukuri dan sumiyaki menjadi cara yang dilakukan masyarakat Jepang.
Tetapi disisi lain,
bisa dikatakan bahwa makanan darurat berguna dalam kepraktisan penyimpanan
kemudian disatu bagian dapat menghemat waktu sambil menyimpan hasrat ingin
makan makanan asli. Bisa disebut hal ini sebgai ingin makanan yang asli dengan
instant, mudah dan cepat.
Seiring dengan
penjualannya makin sering dilihat di supermarket eropa dan lainnya yang menjual
daging, sayur dan bahan makanan beku seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
kemudahan makan dalam waktu yang singkat bisa dikatakan sebagai bentuk makanan
yang asal jadi. Inilah titik pusat pertumbuhan makanan sederhana di Jepang
sangat berbeda dengan eropa. Oleh karena itu, inilah silsilah dari makanan
instant yang bisa dijelaskan.
Hari Valentine adalah sebuah perayaan yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa
kasih sayang antara teman, kekasih maupun keluarga. Saat ini Valentine day tidak hanya dirayakan di
Amerika namun, hampir semua negara telah merayakannya. (Naylor, Larry L.1998.
Hal 112). Pada umumnya, Valentine day
dirayakan setiap tahun pada tanggal 14 Februari. Di Amerika, Valentine day dirayakan dengan cara
saling bertukar kartu. Kemudian, kartu tersebut diberikan kepada kekasih
ataupun keluarga sebagai ungkapan kasih sayang mereka. (Marilyn Coleman,
Lawrence H. Ganong, Kelly Warzinik.2007. Hal 122).
Sama halnya dengan
Amerika, Jepang pun juga merayakan Valentine
day. Berbeda dengan Amerika, di Jepang hanya para wanita saja yang
memberikan coklat kepada pria. Umumnya, coklat tersebut diberikan kepada rekan
kerja, dan teman-teman. Coklat yang diberikan kepada rekan kerja dan
teman-teman disebut dengan giri choco
yang berarti coklat kewajiban. Di Jepang, giri
choco hanya berupa coklat biasa yang harganya relatif murah.
Di Negara Barat
umumnya Valentine day dirayakan oleh
siapapun, baik wanita ataupun laki-laki dapat memberikan hadiah berupa coklat
kepada teman, keluarga, kekasih ataupun suami/istri sebagai ungkapan rasa kasih
sayang mereka. Akan tetapi, di Jepang hanya para wanita yang merayakan Valentine day dengan cara memberikan
coklat kepada rekan kerja atau sahabat laki-laki, kekasih ataupun suami. Bahkan,
ungkapannya pun berbeda bergantung kepada siapa wanita itu akan memberikan
coklat tersebut.( Rupp, Katherine.2003. Hal 150)
Perayaan Valentine day di Jepang sangat terlihat di dalam perusahaan, khususnya
bagi Office Lady. Kebanyakan Office Lady yang bekerja di perusahaan
Jepang, menganggap bahwa Valentine day
adalah sebuah perayaan besar untuk memberikan hadiah kepada rekan kerja
laki-laki mereka khususnya untuk atasan dan sarariman.
Bukan itu saja, mereka sangat mempersiapkan hadiah yang akan diberikan pada
saat Valentine day.
Di Jepang, seorang wanita yang bekerja
di perusahaan disebut ofisu redi atau
disingkat OL. Saat ini, sebagian besar OL yang bekerja di perusahaan berasal
dari lulusan Universitas atau Perguruan Tinggi. (Ogasawara, 12). Tugas utama
dari seorang OL adalah menjalankan mesin foto kopi, mampu membuat laporan
akutansi, serta mengoperasikan komputer. Selain itu, OL juga memiliki tanggung
jawab untuk menyajikan teh kepada para sarariman
dan atasan, membersihkan meja kerja sarariman
dan atasan, kemudian menerima telepon di perusahaan. Bahkan, tidak jarang
setiap akhir minggu para OL harus menemani sarariman
serta atasan mereka untuk bermain golf. Hal ini disebabkan karena, bagi
perusahaan pekerjaan OL tidak memiliki kontribusi yang begitu penting dalam di
dalam perusahaan. (Ogasawara, 73)
Berbeda dengan Office Lady, bagi
perusahaan di Jepang sarariman
mempunyai kontribusi yang sangat penting. Bahkan, sarariman merupakan tulang punggung ekonomi perusahaan yang mampu
bekerja selama lebih dari 16 jam dalam sehari. Dalam kegiatan pekerjaan
sehari-hari sarariman bertugas untuk
mengerjakan laporan mengenai perusahaan, mengikuti rapat bersama para atasan
dan kolega perusahaan. Bahkan, setelah selesai bekerja pun sarariman ini harus mengikuti atasan mereka untuk minum bersama di
bar, serta setiap akhir minggu mereka pun harus pergi bersama atasan dan kolega
perusahaan untuk bermain golf sambil membicarakan masalah dan kondisi
perusahaan.
Namun, kegiatan itu semua harus didukung
oleh peran OL. Seperti saat sarariman
harus mengerjakan laporan perusahaan, OL harus membantu sarariman tersebut dalam pengetikan laporan. Kemudian, saat sarariman harus mengikuti rapat dengan
para atasan dan kolega perusahaan, OL harus bertugas untuk menyiapkan dan
menyajikan teh kepada mereka. Bahkan, usai bekerja dan di akhir minggu para OL
ini harus bersedia untuk menemani sarariman,
para atasan serta kolega perusahaan untuk pergi ke bar dan bermain golf. Oleh
karena itu meskipun kontribusi OL bagi perusahaan tidak begitu penting, namun
dalam pekerjaan sehari-hari OL tetap dibutuhkan oleh sarariman, serta para atasan di perusahaan.
Disis lain, pada umumnya pekerja di
Jepang lebih didominasi oleh pria. Hal itu disebabkan karena perusahaan
menganggap bahwa pria dapat bekerja lebih lama dan mereka tidak memiliki
kewajiban untuk mengurus anak dan rumah tangga. Hal ini sangat berbeda dengan
wanita, di Jepang banyak perusahaan yang tidak dapat mempekerjakan wanita dalam
waktu yang relatif lama. Dengan alasan, bahwa tugas utama seorang wanita adalah
mengandung anak, merawat anak serta mengurus rumah tangga. Bukan itu saja, di
Jepang wanita dianggap tidak dapat melakukan kebiasaan kegiatan di kantor
sehari-hari seperti harus datang pagi hari ke kantor dan pulang larut malam.
Hal ini sebenarnya sesuai dengan budaya
Jepang yaitu Uchi-Soto. Uchi berarti di dalam atau rumah.,
Sedangkan Soto berarti di luar. Di
Jepang budaya Uchi sering diidentikkan
dengan wanita yang harus merawat anak dan mengurus rumah tangga. Sebaliknya,
budaya Soto lebih dikaitkan dengan
pria yang harus bekerja diluar rumah. Akan tetapi, berkat kebutuhan sarariman akan peran OL dalam membantu
pekerjaan mereka. Maka, para wanita di Jepang dapat bekerja di perusahaan
sebagai Office Lady. Sehingga, dapat
dilihat bahwa bagi OL, sarariman
sangat berjasa karena telah mambuat para wanita di Jepang dapat bekerja di
perusahaan.
Pada saat Valentine day, para OL memberikan hadiah berupa coklat kepada sarariman dengan tujuan untuk menjaga
keselarasan di tempat bekerja. Melalui kegiatan pemberian tersebut mereka ingin memberikan
kesan menyenangkan sekaligus sebagai ungkapan terimakasih para OL kepada sarariman serta atasan mereka di
perusahaan. (Ogasawaru, Yuko. Office
Ladies and Salaried Men: Power, Gender and Work in Japanese Company. Hal
98).
1.2 Rumusan Permasalahan
Bagaimana nilai giri yang diwujudkan oleh pekerja Office Lady dalam perusahaan Jepang?
1.3Ruang Lingkup
Berdasarkan
hal tersebut peneliti ingin memfokuskan nilai giri yang ada saat Valentine day di kalangan Office Lady.
1.4Tujuan Penelitian
Penulisan
ini bertujuan untuk mengkaji nilai giri
yang terungkap pada Valentine day
yang dirayakan oleh Office Lady di
perusahaan Jepang.
1.5Metodologi Penelitian
Langkah-langkah
yang dilakukan peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah menentukan tema,
mencari data yang sesuai dengan tema tersebut, membuat pernyataan maksud
penelitian, membuat latar belakang penelitian, merumuskan masalah, membatasi
ruang lingkup, dan menentukan kepustakaan yang cocok. Penelitian ini
menggunakan metode kepustakaan karena peneliti ingin mengkaji mengenai makna nilai
giri dalam Valentine day di kalangan Office Lady, makna ini saya ambil dari
buku Office Ladies and Salaried Men: Power, Gender and work in Japanese Company
dan dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan Kualitatif adalah pendekatan yang
menggunakan rata-rata, non pengukuran dan non-statistik. Sehingga, peneliti
memilih buku tersebut karena pembahasan mengenai Valentine day di kalangan
Office Lady itu ada terdapat nilai giri seperti pada saat Valentine day, para Office Lady memberikan hadiah berupa coklat kepada
sarariman dengan tujuan untuk menjaga
keselarasan di tempat bekerja.
Daftar
Pustaka
Ogasawaru, Yuko. Office Ladies and
Salaried Men: Power, Gender and Work in Japanese Company. University of
California Press. 1998
Rupp, Katherine. Gift Giving in
Japan: Cash, Connection, Cosmologies. Standford University Press. 2003
Roger J. Davies & Osamu Ikeno.
The Japanese Mind: Understanding Contemporary Japanese Culture. Tuttle
Publishing. 2002
Naylor, Larry L. American
Culture: Myth and Reality of a Culture of Diversity. Greenwood Publishing
Group. 1998
Marilyn Coleman, Lawrence H. Ganong, Kelly Warzinik. Family Life in 20th Century
America. Universitas of California Press. 2007
Lebra, Takie Sugiyama. Japanese Culture and Behavior. University of Hawaii Press Honolulu.
1974
Mauss, Marcel. Pemberian: bentuk dan fungsi tukar-menukar di masyarakat
kuno. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.1992
Tesis Konsep Giri dalam Okurimono. Universitas Binus.
2003
Kehidupan
wanita disetiap negara pastilah memiliki perbedaan. Tentunya, masing-masing
negara memiliki ciri khas tersendiri. Perbedaan disetiap negara itu bisa berupa
kehidupan sosial, karir, dan sebagainya. Bahkan, perbedaan itu pun
sewaktu-waktu dapat berubah ataupun berkembang disetiap negara. Sebab, hal itu
tidak dapat terlepas dari faktor-faktor budaya dan kehidupan masyarakat yang
ada pada saat itu.
Begitu juga dengan
negara Jepang. Jepang pun memiliki ciri khas tersendiri terhadap kehidupan
sosial wanitanya. Kehidupan sosial ini terus mengalami perubahan khususnya
setelah Perang Dunia II berakhir di Jepang, peluang bekerja bagi wanita menjadi
terbuka lebar. Hal tersebut membuat banyak wanita Jepang memilih bekerja dengan
tujuan untuk emansipasi kesetaraan hak dan mengejar karir. Bahkan, meningkatnya
wanita Jepang yang berpendidikan tinggi dan
memiliki kemampuan bekerja yang setara dengan laki-laki membuat kesempatan
tersebut menjadi semakin besar bagi wanita untuk masuk dalam dunia kerja.
Namun, dalam menjalani
kehidupan setiap wanita pasti menjalani kehidupan pernikahan. Dalam menjalani
pernikahan, tentunya wanita diharapkan menjadi seorang ibu rumah tangga yang
dapat mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga sepenuhnya. Bagi masyarakat
Jepang seorang ibu memiliki peranan yang besar di dalam keluarga. Mulai dari
mengurus rumah tangga, merawat dan mendidik anak, serta mengontrol keuangan
rumah tangga. Sehingga, hal tersebut menimbulkan konsep ryousaikenbo di dalam masyarakat Jepang.
Walaupun kesempatan bekerja bagi wanita Jepang saat ini
terbuka lebar, namun banyak wanita Jepang yang ditempatkan dalam posisi yang
tidak begitu penting. Bahkan, wanita yang telah menikah dan memiliki anak tidak
dapat melanjutkan karir mereka seperti wanita lain yang belum menikah. Bagi
wanita Jepang hal tersebut merupakan ketidakadilah gender dalam dunia kerja. Oleh karena itu, dalam makalah ini peneliti
akan menulis mengenai pengaruh
ryousaikenko terhadap karir para wanita Jepang yang telah menikah dan
memiliki anak.
Konsep Ryousaikenbo
Pada zaman Edo para
wanita Jepang telah dididik untuk menjadi istri yang baik dan kelak akan
memiliki rasa tanggung jawab dalam mengurus rumah tangga dan melahirkan anak.
Pada zaman ini konsep ryousaikenbo
belum muncul karena wanita pada saat itu tidak memiliki tanggung jawab yang
penuh atas pendidikan formal bagi anak-anak mereka. Akan tetapi, pada zaman
meiji sekiatar tahun 1867 merupakan awal dimulainya restorasi meiji. Pada masa
itu Jepang sedang berusaha mengejar keterbelakangan dari bangsa barat. Oleh
karena itu, pemerintah mengupayakan dengan cara meningkatkan sistem pendidikan
wanita agar disamaratakan dengan pria karena kenyamanan dan kebahagian di rumah
sangat bergantung pada wanita. Selain itu mendidik anak pada masa pertumbuhan
merupakan tanggung jawab seorang ibu, karena itu masa depan bangsa sangat
tergantung pada pendidikan wanita. (Makalah Nihon Toshi Shakai Mondai Wanita
Jepang dalam Konsistensi menjadi Seorang Ibu, Oleh Risma Delviana Siahaan)
Sekitar tahun 1874, seorang
ahli konfusian yaitu Nakamura mengidentifikasikan peran ibu dalam wanita adalah
sumber kekuatan negara. Ia percaya bahwa wanita yang berpendidikan akan membawa
masyarakat menjadi lebih maju. Sejak saat itu muncullah konsep ryousaikenbo yaitu istri yang baik dan
ibu yang bijaksana. Konsep ini oleh pemerintah semakin gencar diperkenalkan dan
ditanamkan kepada para wanita Jepang agar selain menjadi istri yang baik juga
dapat menjadi ibu yang bijaksana dan memperhatikan pendidikan anak-anak mereka.
Bila memiliki ibu yang baik dan pandai maka anak mereka pun akan pandai dan
Jepang pun akan menjadi negara yang maju. Maka untuk menciptakan ibu yang baik,
tidak ada cara lain selain, mendidik para wanita sejak dini dengan menanamkan
konsep ryousaikenbo. (Rita R. Konsep
Chichioya fuzai dalam hubungan ayah dan anak di Jepang. Universitas Binus.
2008)
Sebenarnya, ryousaikenbo merupakan awal dari
pandangan wanita Jepang modern. Hal ini disebabkan karena sebelum zaman meiji,
para wanita hanya berperan sebagai orang melahirkan anak saja serta tidak
diperbolehkan mengurus anaknya sendiri.
Tetapi sejak konsep ryousaikebo mulai
diterapkan pada zaman meiji, wanita pun harus turut berperan aktif dalam
mendidik anak. Bahkan, konsep ryousaikenbo
ini semakin diperkuat bahwa keluarga dianggap sebagai rumah. Dengan maksud
bahwa di dalam rumah para anggota keluarga akan dirawat secara penuh kasih
sayang oleh istri atau ibu.
Meskipun wanita Jepang
telah mengalami kemajuan pada zaman itu namun, tetap saja dilakukan pemisahan
kelas bagi pria dan wanita. Bahkan, pada saat itu pekerjaan bagi wanita Jepang sangat
dibatasi serta pendidikan bagi wanita hanya dapat sampai SMU. Sehingga dapat
dikatakan bahwa, konsep ryousaikenbo
sebagai awal dari dimulainya ketidakadilan gender
bagi wanita Jepang. Dimana seorang wanita yang telah menikah dan memiliki anak
harus secara penuh mengurus rumah tangga dan merawat anak serta patuh terhadap
segala keputusan suami.
Atas dasar konsep ryousaikenbo ini wanita Jepang harus
dapat berperan sebagai istri yang baik dan mengatur keadaan rumah dan melayani
kebutuhan keluarga terutama suami dan dapat juga bereran sebagai ibu yang
bijaksana dalam menyerahkan diri sepenuhnya untuk mendidik anak. Sehingga kedua
hal tersebut menjadi prioritas utama. (Rita R. Konsep Chichioya fuzai dalam
hubungan ayah dan anak di Jepang. Universitas Bina Nusantara. 2008)
Karir Para Ibu Muda Jepang
Ketika perang Dunia II berakhir di Jepang, tingkat pendidikan pada
kehidupan wanita Jepang pun telah mengalami perkembangan. Jika, sebelum perang
dunia II wanita Jepang hanya diperbolehkan melanjutkan pendidikan sampai SMU,
tetapi sekarang sudah banyak para wanita Jepang saat ini dapat melanjutkan
pendidikan hingga tingkat Universitas. Akibat hal tersebut, persaingan dalam
dunia kerja dan peluang bekerja bagi wanita Jepang terbuka lebar. (Dampak karir
terhadap menurunnya angka kelahiran di Jepang. Universitas Bina Nusantara.2007)
Wanita
yang memiliki latar pendidikan yang tinggi maka secara otomatis akan
mendapatkan pekerjaan yang baik pula. Akibatnya, banyak perusahaan bertaraf
internasional di Jepang yang menerima para wanita yang berasal dari lulusan
Universitas. Kemudian, dengan memiliki pekerjaan yang bagus para wanita
tersebut pasti akan mendapatkan gaji yang tinggi. Hal ini tentunya akan membuat
wanita Jepang semakin termotivasi untuk terus bekerja walaupun telah menikah.
Akan
tetapi, di Jepang kesempatan untuk bekerja setelah menikah dan memiliki anak
adalah hal cukup sulit dilakukan. Alasannya, banyak perusahaan Jepang yang
diawal memberikan kontrak sebagai wanita karir atau tidak. Jika tidak, setelah
ia menikah dan memiliki anak maka ia harus berhenti dari perusahaan untuk
merawat anak dan nantinya tidak bisa kembali bekerja di perusahaan tersebut dengan
posisi yang sama. Hal tersebut, mengakibatkan banyak wanita Jepang hanya dapat
bekerja untuk waktu yang relatif singkat di dalam perusahaan. (Makalah Nihon
Toshi Shakai Mondai Wanita Jepang dalam Konsistensi menjadi Seorang Ibu, Oleh
Risma Delviana Siahaan)
Hal ini pun semakin
ditegaskan oleh Iwao Sumiko dalam bukunya The
Japanese Woman: Traditional Image and Changing Reality yang menggambarkan
bagaimana pola kehidupan pekerja wanita dan pria Jepang pada tahun 1982 dari
usia 25 tahun hingga usia 65 tahun, yang membentuk grafik sebagai berikut:
Gambar Survey Dasar Mengenai
Komposisi Pekerja Tahun 1982
Grafik tersebut membentuk “kurva M” dan kurva tersebut
menggambarkan bahwa pada usia 20-24 tahun baik pria maupun wanita Jepang
memiliki pekerjaan untuk pria 80% dan wanita 70%, tetapi pada usia 25-34 tahun
wanita Jepang yang telah menikah dan bekerja presentasenya hanya 40% sedangkan
dengan wanita Jepang lajang yang bekerja presentasenya 79%. Kemudian di usia
35-54 tahun wanita Jepang bekerja yang telah menikah presentasenya 60%
sedangkan wanita Jepang lajang dan
bekerja presentasenya 80%.
Kurva berbentuk “M” terjadi karena dipengaruhi oleh siklus
kehidupan wanita Jepang yang terdiri dari empat fase yaitu fase pertama adalah
fase menjadi dewasa, bersekolah dan bekerja. Fase kedua adalah menikah,
melahirkan dan membesarkan anak. kemudian fase ketiga adalah fase kehidupan
setelah membesarkan anak dan yang terakhir fase keempat adalah masa tua.
(Sugitomo 2003:154 )
Kemudian, hal tersebut semakin
diperkuat dengan contoh kasus yang ditulis oleh Jolivet dalam bukunya Japan: The Childless
Society? The Crisis of Motherhood (2006:31), ia
memberikan contoh kasus mengenai seorang ibu muda Jepang yang harus berhenti
bekerja karena harus mengurus rumah tangga dan merawat anak.
Mrs A, after four years of
study, spent five years working in publicity and then was excluded from
professional circles when she became pregnant. She told the baby help line that
her husband opposed her continuing to work because she had reached the right
age (about 27 or 28)to have a child. Filled with regret at having to break her
career and feeling herself to be the victim of her husband’s decision, she did
not find her child ‘lovable’. Childcare was an overwhelming experience and the
fact that she never had a minute to herself to read a book or the newspaper was
positively frustrating. She found the task irksome and exasperating and
whenever the child refused his feeed she admitted to feeling tempted to throw
the bottle to the ground.
Terjemahan:
seorang ibu muda di Jepang
yang berinisial “A” setelah 4 tahun lamanya bersekolah dan menghabiskan 5 tahun waktunya untuk bekerja
di sebuah perusahaan, dikucilkan dari rekan kerjanya ketika dirinya tengah mengandung. Bahkan, dia
mengatakan kepada baby help line bahwa
suaminya melarang ia melanjutkan pekerjaannya karena dia telah mencapai usia
yang tepat yaitu sekitar 27 atau 28 tahun untuk memiliki anak. Dengan diliputi
perasaan penyesalan karena ia harus berhenti dari karirnya untuk sementara dan
dia merasa dirinya menjadi korban dari keputusan suaminya sehingga dia tidak
dapat menemukan perasaan untuk menyayangi anaknya. Merawat anak adalah
pengalaman yang luar biasa tetapi kenyataannya dia tidak mempunyai waktu
semenit pun untuk sekedar membaca buku ataupun koran hingga akhirnya ia merasa
benar-benar frustasi. Dia seperti menemukan tugas yang menjemukan dan
menjengkelkan ketika anaknya menolak makanan yang diberikan olehnya, bahkan dia
merasa terpancing untuk melemparkan botol sang anak ke tanah.
Contoh kasus
diatas sangat menunjukkan bahwa ibu muda tersebut mengalami dilema saat rekan
kerjanya memaksa ia secara tidak langsung agar berhenti bekerja karena tengah
mengandung bahkan bukannya itu saja suaminya pun juga melarang ia untuk bekerja
karena tugas sebenarnya bagi seorang wanita yang telah menikah adalah mengurus
rumah tangga dan merawat anak.
Ketidakadilan
gender dan Pengaruh ryousaikenbo
Terhadap Karir Ibu Muda di Jepang
Sejak berakhirnya perang dunia II di Jepang, tenaga kerja wanita mulai
banyak bermunculan disegala bidang pekerjaan. Bahkan, mereka dapat secara bebas
mengikuti pendidikan sama seperti pria. Para wanita yang memiliki pendidikan
tinggi dapat bekerja diberbagai macam perkantoran di Jepang. Walaupun para
wanita telah memperoleh kebebasan dalam memperoleh pendidikan hingga tingkat
Universitas namun tidak dapat dielakkan bahwa apabila kelak ia menikah dan
menjadi seorang ibu maka ia harus melaksanakan perannya secara penuh sebagai
ibu rumah tangga sesuai dengan konsep ryousaikenbo.
Dimana proritas utama menjadi seorang ibu adalah harus mengurus rumah tangga
dan merawat anak.
Wanita
yang bekerja dan telah menikah apabila ia beristirahat dari pekerjaannya karena
harus merawat anaknya dan kemudian memutuskan kembali lagi untuk memasuki dunia
kerja, biasanya akan sulit diterima di dalam perusahaan lamanya atau kalau pun
diterima dalam perusahaan yang dahulu biasanya akan mendapatkan posisi
pekerjaan yang lebih rendah daripada posisi pekerjaannya sebelum menikah. Kebanyakan
wanita yang telah berhenti bekerja saat menikah tidak akan bisa memperoleh
jenis pekerjaan yang sama dengan pekerjaan yang telah dia tinggalkan
sebelumnya, karena dibutuhkan jenjang karir yang panjang untuk memperoleh
posisi manajer dalam sebuah perusahaan.
Peneliti
berpendapat bahwa, salah satu penyebab wanita Jepang yang telah menikah dan
memiliki anak harus berhenti bekerja adalah adanya pengaruh dari konsep ryousaikenbo. Dimana dalam konsep ryousaikenbo diajarkan bahwa kunci
sukses sebuah rumah tangga adalah wanita dapat berperan sebagai istri yang baik
dan mengatur keadaan rumah dan melayani kebutuhan keluarga terutama suami dan
dapat juga bereran sebagai ibu yang bijaksana dalam menyerahkan diri sepenuhnya
untuk mendidik anak. Serta mereka meyakini bahwa mendidik anak dengan kemampuan
sendiri akan membuahkan hasil yang lebih baik yaitu bila memiliki ibu yang
pandai maka anak mereka pun akan pandai.
Kemudian
dengan melihat grafik yang berbentuk kurva “M” yang ada dibagian atas dapat
disimpulkan bahwa wanita yang bekerja pada usia 25~34 tahun dan berada di fase
dua yaitu fase melahirkan dan membesarkan anak, presentasenya mengalami
penurunan. Tetapi setelah selesai menghadapi fase dua, yaitu wanita yang berada
di fase ketiga ketika berusia 35~50 tahun presentasenya kembali meningkat. Berdasarkan
hal tersebut peneliti berpendapat bahwa menurunnya presentase wanita Jepang
yang berada dalam fase dua adalah disebabkan karena setiap wanita Jepang yang
bekerja apabila memutuskan untuk menikah dan memiliki anak maka secara otomatis
mereka harus meninggal pekerjaan mereka dan bekerja sebagai ibu rumah tangga
sesuai dengan konsep ryousaikenbo
yaitu istri yang bijaksana dan ibu yang baik bagi anak dan suami mereka.
Akan tetapi,
bagi wanita Jepang berhenti bekerja karena harus mengurus rumah tangga dan
merawat anak adalah sebuah ketidakadilan gender.
Menurut Mansour Fakih dalam bukunya Analisis
Gender dan transformasi sosial (2003:74) ia menjelaskan gender dan stereotipe secara umum yaitu
Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau
penandaan terhadap suatu kelompok. Stereotipe adalah pelabelan negatif terhadap
jenis kelamin tertentu dan akibat dari stereotipe itu terjadi diskriminasi
serta berbegai ketidakadilan yang lainnya. Dalam masyarakat banyak sekali
stereotipe yang dilekatkan kepada kaum perempuan yang berakibat membatasi,
menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Karena adanya keyakinan
masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah (bread winner) misalnya, setiap pekerjaan yang dilakukan oleh
perempuan dinilai tambahan dan oleh karenanya boleh saja dibayar lebih rendah.
Berdasarkan kutipan
diatas stereotipe termasuk salah satu
ketidakadilan gender. Dimana stereotipe adalah pelabelan terhadap
suatu kelompok tertentu. Kelompok yang dimaksud adalah wanita. Dimana dalam
masyarakat wanita selalu diidentikan sebagai kaum yang lemah. Dengan melihat
hal tersebut peneliti berpendapat bahwa pengaruh ryousaikenbo terhadap karir wanita Jepang yang telah menikah dan
memiliki anak hingga harus berhenti dari pekerjaan termasuk dalam stereotipe. Alasannya adalah karena
adanya pelabelan atau citra ryousaikenbo
disetiap wanita Jepang maka apabila ada wanita yang memutuskan untuk menikah
dan memiliki anak secara otomatis karir mereka akan terhenti.
Kemudian, berdasarkan contoh
kasus yang dikemukan oleh Jolivet (2006:31) diatas dapat disimpulkan bahwa ibu
muda tersebut sedang mengalami dilema, antara memilih pekerjaan dan mengurus
anak serta keluarga walaupun pada akhirnya ibu muda tersebut akhirnya memilih
mengurus rumah dan merawat anak. Peneliti berpendapat bahwa dari contoh kasus
tersebut sangat membuktikan bahwa konsep
ryousaikenbo sangat mengakar dan terlihat jelas di dalam kehidupan
masyarakat Jepang. Bahkan, contoh kasus tersebut sangat menggambarkan betapa
ibu muda itu terlihat tidak dapat berbuat apapun selain mengikuti hal tersebut
yaitu berhenti bekerja.
Bahkan, hal tersebut pun termasuk dalam ketidakadilan gender stereotipe dimana
seorang wanita yang telah menikah dan memiliki anak itu harus berhenti bekerja
dan mengurus rumah tangga secara penuh, merawat dan mendidik anak, serta
mengurus keuangan rumah tangga.
Kesimpulan
Pada era meiji muncullah sebuah
konsep ryousaikenbo yang artinya
istri yang baik dan ibu yang bijaksana. Dimana dalam konsep ryousaikenbo ini wanita Jepang harus
dapat berperan sebagai istri yang baik dan mengatur keadaan rumah dan melayani
kebutuhan keluarga terutama suami dan dapat juga bereran sebagai ibu yang
bijaksana dalam menyerahkan diri sepenuhnya untuk mendidik anak. Sehingga kedua
hal tersebut menjadi prioritas utama bagi setiap wanita Jepang yang telah
menikah dan memiliki anak.
Ketika
perang Dunia II berakhir di Jepang, tingkat pendidikan pada kehidupan wanita Jepang
pun telah mengalami perkembangan. Akibatnya, persaingan dalam dunia kerja dan
peluang bekerja bagi wanita Jepang terbuka lebar. Tetapi, di Jepang kesempatan
untuk bekerja setelah menikah dan memiliki anak adalah hal cukup sulit
dilakukan. Bahkan, hal ini pun semakin ditegaskan dalam bentuk grafik yang
berbentuk kurva “M”. Dimana dalam grafik itu diterangkan bahwa wanita yang
bekerja pada usia 25~34 tahun dan berada di fase dua yaitu fase melahirkan dan
membesarkan anak, presentasenya mengalami penurunan. Tetapi setelah selesai
menghadapi fase dua, yaitu wanita yang berada di fase ketiga ketika berusia
35~50 tahun presentasenya kembali meningkat. disebabkan karena setiap wanita
Jepang yang bekerja apabila memutuskan untuk menikah dan memiliki anak maka secara
otomatis mereka harus meninggal pekerjaan mereka dan bekerja sebagai ibu rumah
tangga sesuai dengan konsep ryousaikenbo
yaitu istri yang bijaksana dan ibu yang baik bagi anak dan suami mereka.
Bahkan hal
ini pun semakin diperkuat oleh contoh kasus yang menggambarkan bagaimana
dilemanya seorang ibu muda Jepang antara memilih pekerjaan dan mengurus anak
serta keluarga walaupun pada akhirnya ibu muda tersebut akhirnya memilih
mengurus rumah dan merawat anak. contoh kasus tersebut sangat membuktikan bahwa
konsep ryousaikenbo sangat mengakar
dan terlihat jelas di dalam kehidupan masyarakat Jepang.
Peneliti
berpendapat bahwa, berdasarkan dari grafik dan contoh kasus diatas terlihat
jelas pengaruh ryousaikenbo terhadap
karir wanita Jepang yang telah menikah dan memiliki anak hingga harus berhenti
dari pekerjaan termasuk dalam stereotipe.
Alasannya adalah karena adanya pelabelan atau citra ryousaikenbo disetiap wanita Jepang maka apabila ada wanita yang
memutuskan untuk menikah dan memiliki anak secara otomatis karir mereka akan
terhenti.
***
Daftar Pustaka
Fakih, Mansour. Analisis
Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar Offset. 2003
Jolivet, Muriel. Japan
: The childless Society? The crisis of Motherhood. New York : Routledge.
1997
Iwao, Sumiko. The
Japanese Woman: Traditional Image and Changing Reality. New York: The Free
Press.1993
Sugimoto, Yoshio. An Intrudition to Japanese Society, Second Edition. Cambridge :
UK.2003
Dampak Karir
Terhadap Menurunnya Angka Kelahiran di Jepang. Universitas Bina Nusantara.2007
Rita R. Konsep
Chichioya Fuzai dalam Hubungan Ayah dan Anak di Jepang. Universitas Bina
Nusantara. 2008
Makalah Nihon Toshi
Shakai Mondai Wanita Jepang dalam Konsistensi menjadi Seorang Ibu, Oleh
Risma Delviana Siahaan
Jurnal “wanita Jepang dalam karir dan kehidupan sosial”
Iwasaki,
Anni. Artikel “wanita Jepang Konsisten
menjadi seorang Ibu”.Media Indonesia. 2004
Fenomena bunuh diri di Jepang bukanlah suatu hal yang baru
saja muncul. Dewasa ini di Jepang dewasa konteks bunuh diri memiliki perbedaan
makna dengan seppuku ataupun hara-kiri yang dilakukan oleh para samurai. Bahkan penyebab dan tujuan
bunuh diri tersebut menjadi semakin lebih ringan, sehingga bagi masyarakat
Jepang tidak sulit untuk memutuskan mengakhiri hidupnya. Bunuh diri disebut Jisatsu dalam bahasa Jepang yang artinya
“kegiatan menghilangkan nyawa sendiri”
Seorang anak yang berusia
19 tahun kebawah identik dengan usia sekolah. Hal ini akan menjadi sangat
mengerikan apabila melihat fakta anak usia dini sudah berpikir untuk mengakhiri
hidupnya. Pada usia ini seorang anak mulai memasuki usia yang disebut remaja.
Remaja mulai menemukan hal-hal yang baru dalam kehidupannya baik yang bersifat
positif maupun negatif. Berbagai permasalahan akan bermuncul dan dihadapi para
remaja. Biasanya mereka pasti sudah bisa berpikir tentang masalah tersebut
tetepi belum bisa menyelesaikannya. Oleh karena itu disinilah peran pentingnya
keluarga, teman dan lingkungan sekitar sebagai orang terdekat.
Ikatan pertemanan
merupakan hal yang penting bagi remaja usia sekolah, karena sebagian besar
waktu mereka dihabiskan di sekolah bersama teman-temannya. Umumnya sekolah di
Jepang pun terdapat pengelompokan di antara siswa-siswa. Biasanya pengelompokan
itu berdasarkan perbedaan antara yang berkuasa dan tidak berkuasa. Pengertian
dari Siswa yang berkuasa disini seperti senioritas, materi, kepandaian, dan faktor
lainnya yang dapat menimbulkan perbedaan mencolok. Sehingga kekuasaan sering
kali ditunjukkan dengan kekerasan atau ijime yang tidak jarang akan berakhir
dengan bunuh diri atau jisatsu.
Konsep Bunuh Diri berdasarkan Teori Durkheim
Seorang sosiolog asal
Prancis yaitu Emille Durkheim melihat masyarakat sebagai wadah yang paling
sempurna bagi kehidupan bersama antar sesama manusia, karena ikatan dalam masyarakat
dapat menentukan perkembangan manusia pada hal yang paling dalam dari jiwa
manusia sebagai individu seperti kepercayaan, keagamaan, pola pikir, kehendak
atau keinginan, bahkan hasrat untuk bunuh diri. Hal tersebut bersifat sosial
dan terletak di dalam masyarakat.
Menurut Durkheim bunuh
diri adalah penyimpangan perilaku seseorang yang terjadi karena benturan dua
kutub integrasi dan retulasi yaitu kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan
menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri. Dalam hal ini durkheim juga
menekankan pentingnya peran agama bagi seseorang untuk menghindarkan diri dari
berbagai penyimpangan yang terjadi, karena dalam ajaran agama mencangkup mitos,
dogma, dan ritual yang kesemuannya adalah fenomena religius yang dilakukan
manusia.
Durkheim membagi
fenomena bunuh diri menjadi tiga yaitu bunuh diri egoistik, altruistik dan
anomik.
Bunuh Diri Egoistik
Bunuh diri egoistik adalah bunuh diri yang dimotivasi oleh ketidakmampuan
individu untuk berintegrasi dengan grupnya yaitu keluarganya, kelompok, dan rekan-rekan.
Kondisi ini terjadi karena masyarakat memposisikan individu yang bersangkutan
seolah-olah tidak berkepribadian. Tidak berkepribadian artinya tidak memiliki
karakteristik baik fisik maupun mental yang sama dengan masyarakat umumnya atau
yang memberi penilaian terhadap individu tersebut. Dalam kasus ini orang
tersebut hanya memikirkan dirinya dan tidak memperhatikan orang lain. Sehingga
ia merasa tersudut yang disebabkan karena egoisme berlebihan yang menyebabkan
terjadinya bunuh diri. Dalam hal ini, bunuh diri karena kasus kekerasan seperti
ijime dapat dijadikan contoh dari
teori di atas.
Bunuh Diri Altruistik
Bunuh Diri Altruistik adalah kebalikan dari tipe bunuh diri egoistik.
Semakin besar pengintegrasian seseorang dengan grupnya, makin besar
kecendrungan ke arah bunuh diri. Seseorang yang memiliki integrasi kuat dengan
grupnya, ketika ia merasa kehilangan kehormatan di dalam grupnya, ia cenderung
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Dalam hal bunuh diri atas dasar ikatan
kelompok dan tuntutan masyarakat seperti saat perang seorang anggota militer
rela menutup granat dengan badannya untuk menyelamatkan teman-teman. Kasus ini
dapat dijadikan contoh dari teori di atas.
Bunuh Diri Anomik
Bunuh diri anomik adalah keadaan moral sesorang yang telah kehilangan
cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidup. Sehingga ia merasa seperti kehilangan
pegangan hidup yang kemudian akan menyebabkannya melakukan kecendrungan bunuh
diri. Dalam teori ini bunuh diri terjadi
karena gangguan keseimbangan integrasi antara individu dan masyarakat
sehingga individu mengalami krisis identitas seperti kebangkrutan, kehilangan
pekerjaan, kehilangan teman, malu dengan keadaan lingkungan. Contoh dari teori
di atas adalah orang yang seluruh tenaga dan hidupnya telah dikerahkan untuk
kesejahteraan keluarganya, lalu tiba-tiba menderita musibah maka akan mengalami
krisis emosional berupa tekanan batin yang berujung pada bunuh diri.
Fenomena Jisatsu dikalangan remaja Jepang
Di Jepang umumnya remaja yang berusia di bawah 19 tahun
memiliki kecendrungan tinggi untuk merasa kesepian. Walaupun mereka berada di
dalam masyarakat yang ramai dan unik, mereka merasa tidak dapat menyalurkan
perasaannya baik pada saudara, orang tua ataupun teman disekitarnya. Sehingga
kesepian adalah dampak dari individualitas yang berlaku di lingkungannya.
Kita semua mengetahui
bahwa anak muda Jepang memiliki kreatifitas yang tinggi dalam menciptakan
seluruh gaya hidup seperti fashion
harajuku style, komunitas pecinta anime
dan sebagainya. Melihat hal ini seharusnya remaja Jepang dapat
didefinissikan sebagai remaja yang pintar, ceria, percaya diri dan kreatif.
Namun, sebenarnya remaja Jepang adalah remaja yang kurang percaya diri, selalu
merasa kesepian dan bermotivasi rendah dalam menggapai cita-cita. Dampak dari
munculnya perilaku seperti diatas adalah rentan akan stress dan depresi.
Biasanya, dalam menjalani hidupnya mereka akan bersikap pasrah dan menerima
segala keadaan yang datang padanya.
Kesepian yang
dirasakannya menjadikan mereka individu yang mudah dijadikan objek ejekan bagi
anggota kelompok lain baik dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat. Pada
kondisi seperti ini akan timbul tindak kekerasan atau ijime yang ditujukan padanya. Tindakan ijime bukan hanya menimbulkan rasa takut pada korbannya tetapi
dapat menimbulkan dampak yang lebih besar yaitu tindakan bunuh diri. Dewasa ini
semakin banyak remaja yang melakukan bunuh diri akibat mengalami ijime khususnya di sekolah.
Berdasarkan tiga tipe
bunuh diri diatas kasus seorang remaja yang menjadi korban tindak kekerasan
atau ijime hingga dapat mengambil
tindakan bunuh diri maka kasus ini masuk kedalam tipe bunuh diri egoistik.
Alasannya dapat terlihat dari seorang remaja merasakan adanya penolakan dalam
lingkungan kelompoknya, remaja tersebut dianggap tidak pantas untuk berada di dalam kelompok tersebut, sedangkan
identitas kelompok merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Jepang.
Maka bila ada seseorang remaja di lingkungan sekolahnya dianggap berbeda
seperti sifat tertutup dan memiliki masalah dengan teman akan memiliki kesan
tidak terima dalam kelompoknya.
Hal ini dapat terlihat
dari sebuah kasus yang terjadi di Jepang tepatnya di Fukuoka seorang siswa
murid SMP berusia 13 tahun yang bernama Kiyoteru
Okochi memutuskan bunuh diri untuk lepas dari ijime teman sekelasnya. Dia
meninggalkan catatan yang membuktikan dan mengklarifikasi fakta bahwa dia
merasa putus asa dari kekejaman ijime. Sebab dia selalu dipaksa untuk
merendamkan wajahnya ke dalam air sungai yang kotor, bahkan sepedanya rusak
berulang kali dan teman sekelasnya menuntut agar ia selalu memberikan uang
kepada mereka sebesar 1000 yen setiap harinya. Karena tindakan ijime ini terus menerus dilakukan oleh temannya
sehingga ia melakukan bunuh diri sebagai bentuk penyelesaiannya.
Tindakan ijime diatas dapat terlihat dari teman
sepermainan (sekolah dan lingkungan sekitar) yang menjadi penyebab utama dalam
mendorong remaja melakukan bunuh diri. Seperti kasus yang dialami oleh Kiyoteru Okochi yaitu mendapat tekanan dari teman sekolah berupa
ancaman dan hinaan. Hal itu menimbulkan rasa takut dan tidak percaya diri
sehingga ia memutuskan untuk mengakhirihidupnya. Timbulnya rasa takut itu
disebabkan oleh adanya rasa penolakan yang dilakukan oleh sekolahnya, penolakan
ini akan terus dilakukan oleh teman-teman lain karena mereka tidak ingin
mengalami tindakan ijime.
Oleh karena itu apabila ada seorang anak yang
sedang diijime, teman-teman lain yang
tidak melakukan ijime pun akan
menjauhinya. Tentu saja hal ini membuat Kiyoteru
Okochi merasa
diasingkan di lingkungan sekolah. Kasus diatas merupakan gambaran keadaan
seseorang yang merasa ditolak dari lingkungan sekolahnya, sehingga merasa
terdiskriminasi oleh kelompoknya sendiri sampai mencoba bunuh diri sejalan
dengan konsep bunuh diri egoistis.
Menanggapi peningkatan
jumlah kasus bunuh diri pada remaja, pemerintah Jepang mengeluarkan himbauan
yaitu anak-anak sebagai generasi penerus Jepang dihimbau untuk bersikap terbuka
kepada keluarga dan lingkungannya. Tindakan ijime
yang kerap kali menjadi penyebab kasus bunuh diri remaja harus disikapi dengan
tenang, terbuka, tidak malu dan tidak takut untuk mengungkapkan apa yang
dirasakan. Bila merasa tengah mengalami tindakan ijime tunjukan sikap berani dan tidak terpengaruh oleh hinaan atau
kekerasan yang diterima, dengan cara itu pelaku ijime akan mengurungkan niatnya untuk kembali melakukan penganiyaan
pada kita atau siapapun. Kemudian yang terpenting adalah keluarga harus
memberikan perhatian lebih kepada anak dan para remaja di sekitar mereka.
Kesimpulan
Kian maraknya kasus
bunuh diri di kalangan remaja menjadi sebuah indikasi adanya ketidakmampuan
anak dan remaja dalam mengatasi masalahyang dihadapi. Selain itu fenomena bunuh
diri tersebut juga merupakan wujud dari kurangnya rasa bertahan hidup yang
dimiliki remaja dalam menghadapi stress. Kemudian, fenomena bunuh diri remaja
ini secara tidak langsung merupakan bukti dari kegagalan para orang tua,
pendidik dan masyarakat sekitar untuk membekali anaknya dengan ketrampilan
hidup.
seorang remaja yang menjadi korban tindak kekerasan atau ijime hingga dapat mengambil tindakan
bunuh diri maka kasus ini masuk kedalam tipe bunuh diri egoistis yang dikemukan
oleh Durkeim. Dengan alasan utama bagi kalangan remaja adalah budaya penindasan
yang dikenal dengan ijime dan terus
mengalami perkembangan dalam kehidupan remaja memberikan pengaruh yang cukup
besar pada pilihan bunuh diri yang diambil pelaku remaja di Jepang.