Oleh : Iin Diah
Indrawati
Fenomena bunuh diri di Jepang bukanlah suatu hal yang baru
saja muncul. Dewasa ini di Jepang dewasa konteks bunuh diri memiliki perbedaan
makna dengan seppuku ataupun hara-kiri yang dilakukan oleh para samurai. Bahkan penyebab dan tujuan
bunuh diri tersebut menjadi semakin lebih ringan, sehingga bagi masyarakat
Jepang tidak sulit untuk memutuskan mengakhiri hidupnya. Bunuh diri disebut Jisatsu dalam bahasa Jepang yang artinya
“kegiatan menghilangkan nyawa sendiri”
Seorang anak yang berusia
19 tahun kebawah identik dengan usia sekolah. Hal ini akan menjadi sangat
mengerikan apabila melihat fakta anak usia dini sudah berpikir untuk mengakhiri
hidupnya. Pada usia ini seorang anak mulai memasuki usia yang disebut remaja.
Remaja mulai menemukan hal-hal yang baru dalam kehidupannya baik yang bersifat
positif maupun negatif. Berbagai permasalahan akan bermuncul dan dihadapi para
remaja. Biasanya mereka pasti sudah bisa berpikir tentang masalah tersebut
tetepi belum bisa menyelesaikannya. Oleh karena itu disinilah peran pentingnya
keluarga, teman dan lingkungan sekitar sebagai orang terdekat.
Ikatan pertemanan
merupakan hal yang penting bagi remaja usia sekolah, karena sebagian besar
waktu mereka dihabiskan di sekolah bersama teman-temannya. Umumnya sekolah di
Jepang pun terdapat pengelompokan di antara siswa-siswa. Biasanya pengelompokan
itu berdasarkan perbedaan antara yang berkuasa dan tidak berkuasa. Pengertian
dari Siswa yang berkuasa disini seperti senioritas, materi, kepandaian, dan faktor
lainnya yang dapat menimbulkan perbedaan mencolok. Sehingga kekuasaan sering
kali ditunjukkan dengan kekerasan atau ijime yang tidak jarang akan berakhir
dengan bunuh diri atau jisatsu.
Konsep Bunuh Diri berdasarkan Teori Durkheim
Seorang sosiolog asal
Prancis yaitu Emille Durkheim melihat masyarakat sebagai wadah yang paling
sempurna bagi kehidupan bersama antar sesama manusia, karena ikatan dalam masyarakat
dapat menentukan perkembangan manusia pada hal yang paling dalam dari jiwa
manusia sebagai individu seperti kepercayaan, keagamaan, pola pikir, kehendak
atau keinginan, bahkan hasrat untuk bunuh diri. Hal tersebut bersifat sosial
dan terletak di dalam masyarakat.
Menurut Durkheim bunuh
diri adalah penyimpangan perilaku seseorang yang terjadi karena benturan dua
kutub integrasi dan retulasi yaitu kuat dan lemahnya kedua kutub itu akan
menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri. Dalam hal ini durkheim juga
menekankan pentingnya peran agama bagi seseorang untuk menghindarkan diri dari
berbagai penyimpangan yang terjadi, karena dalam ajaran agama mencangkup mitos,
dogma, dan ritual yang kesemuannya adalah fenomena religius yang dilakukan
manusia.
Durkheim membagi
fenomena bunuh diri menjadi tiga yaitu bunuh diri egoistik, altruistik dan
anomik.
- Bunuh Diri Egoistik
Bunuh diri egoistik adalah bunuh diri yang dimotivasi oleh ketidakmampuan
individu untuk berintegrasi dengan grupnya yaitu keluarganya, kelompok, dan rekan-rekan.
Kondisi ini terjadi karena masyarakat memposisikan individu yang bersangkutan
seolah-olah tidak berkepribadian. Tidak berkepribadian artinya tidak memiliki
karakteristik baik fisik maupun mental yang sama dengan masyarakat umumnya atau
yang memberi penilaian terhadap individu tersebut. Dalam kasus ini orang
tersebut hanya memikirkan dirinya dan tidak memperhatikan orang lain. Sehingga
ia merasa tersudut yang disebabkan karena egoisme berlebihan yang menyebabkan
terjadinya bunuh diri. Dalam hal ini, bunuh diri karena kasus kekerasan seperti
ijime dapat dijadikan contoh dari
teori di atas.
- Bunuh Diri Altruistik
Bunuh Diri Altruistik adalah kebalikan dari tipe bunuh diri egoistik.
Semakin besar pengintegrasian seseorang dengan grupnya, makin besar
kecendrungan ke arah bunuh diri. Seseorang yang memiliki integrasi kuat dengan
grupnya, ketika ia merasa kehilangan kehormatan di dalam grupnya, ia cenderung
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Dalam hal bunuh diri atas dasar ikatan
kelompok dan tuntutan masyarakat seperti saat perang seorang anggota militer
rela menutup granat dengan badannya untuk menyelamatkan teman-teman. Kasus ini
dapat dijadikan contoh dari teori di atas.
- Bunuh Diri Anomik
Bunuh diri anomik adalah keadaan moral sesorang yang telah kehilangan
cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidup. Sehingga ia merasa seperti kehilangan
pegangan hidup yang kemudian akan menyebabkannya melakukan kecendrungan bunuh
diri. Dalam teori ini bunuh diri terjadi
karena gangguan keseimbangan integrasi antara individu dan masyarakat
sehingga individu mengalami krisis identitas seperti kebangkrutan, kehilangan
pekerjaan, kehilangan teman, malu dengan keadaan lingkungan. Contoh dari teori
di atas adalah orang yang seluruh tenaga dan hidupnya telah dikerahkan untuk
kesejahteraan keluarganya, lalu tiba-tiba menderita musibah maka akan mengalami
krisis emosional berupa tekanan batin yang berujung pada bunuh diri.
Fenomena Jisatsu dikalangan remaja Jepang
Di Jepang umumnya remaja yang berusia di bawah 19 tahun
memiliki kecendrungan tinggi untuk merasa kesepian. Walaupun mereka berada di
dalam masyarakat yang ramai dan unik, mereka merasa tidak dapat menyalurkan
perasaannya baik pada saudara, orang tua ataupun teman disekitarnya. Sehingga
kesepian adalah dampak dari individualitas yang berlaku di lingkungannya.
Kita semua mengetahui
bahwa anak muda Jepang memiliki kreatifitas yang tinggi dalam menciptakan
seluruh gaya hidup seperti fashion
harajuku style, komunitas pecinta anime
dan sebagainya. Melihat hal ini seharusnya remaja Jepang dapat
didefinissikan sebagai remaja yang pintar, ceria, percaya diri dan kreatif.
Namun, sebenarnya remaja Jepang adalah remaja yang kurang percaya diri, selalu
merasa kesepian dan bermotivasi rendah dalam menggapai cita-cita. Dampak dari
munculnya perilaku seperti diatas adalah rentan akan stress dan depresi.
Biasanya, dalam menjalani hidupnya mereka akan bersikap pasrah dan menerima
segala keadaan yang datang padanya.
Kesepian yang
dirasakannya menjadikan mereka individu yang mudah dijadikan objek ejekan bagi
anggota kelompok lain baik dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat. Pada
kondisi seperti ini akan timbul tindak kekerasan atau ijime yang ditujukan padanya. Tindakan ijime bukan hanya menimbulkan rasa takut pada korbannya tetapi
dapat menimbulkan dampak yang lebih besar yaitu tindakan bunuh diri. Dewasa ini
semakin banyak remaja yang melakukan bunuh diri akibat mengalami ijime khususnya di sekolah.
Berdasarkan tiga tipe
bunuh diri diatas kasus seorang remaja yang menjadi korban tindak kekerasan
atau ijime hingga dapat mengambil
tindakan bunuh diri maka kasus ini masuk kedalam tipe bunuh diri egoistik.
Alasannya dapat terlihat dari seorang remaja merasakan adanya penolakan dalam
lingkungan kelompoknya, remaja tersebut dianggap tidak pantas untuk berada di dalam kelompok tersebut, sedangkan
identitas kelompok merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Jepang.
Maka bila ada seseorang remaja di lingkungan sekolahnya dianggap berbeda
seperti sifat tertutup dan memiliki masalah dengan teman akan memiliki kesan
tidak terima dalam kelompoknya.
Hal ini dapat terlihat
dari sebuah kasus yang terjadi di Jepang tepatnya di Fukuoka seorang siswa
murid SMP berusia 13 tahun yang bernama Kiyoteru
Okochi memutuskan bunuh diri untuk lepas dari ijime teman sekelasnya. Dia
meninggalkan catatan yang membuktikan dan mengklarifikasi fakta bahwa dia
merasa putus asa dari kekejaman ijime. Sebab dia selalu dipaksa untuk
merendamkan wajahnya ke dalam air sungai yang kotor, bahkan sepedanya rusak
berulang kali dan teman sekelasnya menuntut agar ia selalu memberikan uang
kepada mereka sebesar 1000 yen setiap harinya. Karena tindakan ijime ini terus menerus dilakukan oleh temannya
sehingga ia melakukan bunuh diri sebagai bentuk penyelesaiannya.
Tindakan ijime diatas dapat terlihat dari teman
sepermainan (sekolah dan lingkungan sekitar) yang menjadi penyebab utama dalam
mendorong remaja melakukan bunuh diri. Seperti kasus yang dialami oleh Kiyoteru Okochi yaitu mendapat tekanan dari teman sekolah berupa
ancaman dan hinaan. Hal itu menimbulkan rasa takut dan tidak percaya diri
sehingga ia memutuskan untuk mengakhirihidupnya. Timbulnya rasa takut itu
disebabkan oleh adanya rasa penolakan yang dilakukan oleh sekolahnya, penolakan
ini akan terus dilakukan oleh teman-teman lain karena mereka tidak ingin
mengalami tindakan ijime.
Oleh karena itu apabila ada seorang anak yang
sedang diijime, teman-teman lain yang
tidak melakukan ijime pun akan
menjauhinya. Tentu saja hal ini membuat Kiyoteru
Okochi merasa
diasingkan di lingkungan sekolah. Kasus diatas merupakan gambaran keadaan
seseorang yang merasa ditolak dari lingkungan sekolahnya, sehingga merasa
terdiskriminasi oleh kelompoknya sendiri sampai mencoba bunuh diri sejalan
dengan konsep bunuh diri egoistis.
Menanggapi peningkatan
jumlah kasus bunuh diri pada remaja, pemerintah Jepang mengeluarkan himbauan
yaitu anak-anak sebagai generasi penerus Jepang dihimbau untuk bersikap terbuka
kepada keluarga dan lingkungannya. Tindakan ijime
yang kerap kali menjadi penyebab kasus bunuh diri remaja harus disikapi dengan
tenang, terbuka, tidak malu dan tidak takut untuk mengungkapkan apa yang
dirasakan. Bila merasa tengah mengalami tindakan ijime tunjukan sikap berani dan tidak terpengaruh oleh hinaan atau
kekerasan yang diterima, dengan cara itu pelaku ijime akan mengurungkan niatnya untuk kembali melakukan penganiyaan
pada kita atau siapapun. Kemudian yang terpenting adalah keluarga harus
memberikan perhatian lebih kepada anak dan para remaja di sekitar mereka.
Kesimpulan
Kian maraknya kasus
bunuh diri di kalangan remaja menjadi sebuah indikasi adanya ketidakmampuan
anak dan remaja dalam mengatasi masalahyang dihadapi. Selain itu fenomena bunuh
diri tersebut juga merupakan wujud dari kurangnya rasa bertahan hidup yang
dimiliki remaja dalam menghadapi stress. Kemudian, fenomena bunuh diri remaja
ini secara tidak langsung merupakan bukti dari kegagalan para orang tua,
pendidik dan masyarakat sekitar untuk membekali anaknya dengan ketrampilan
hidup.
seorang remaja yang menjadi korban tindak kekerasan atau ijime hingga dapat mengambil tindakan
bunuh diri maka kasus ini masuk kedalam tipe bunuh diri egoistis yang dikemukan
oleh Durkeim. Dengan alasan utama bagi kalangan remaja adalah budaya penindasan
yang dikenal dengan ijime dan terus
mengalami perkembangan dalam kehidupan remaja memberikan pengaruh yang cukup
besar pada pilihan bunuh diri yang diambil pelaku remaja di Jepang.
DAFTAR PUSTAKA
Handout konsep bunuh diri
Emille durkheim
“ Ijime dalam komik-komik
Jepang”. Universitas Sumatera Utara
kak boleh nanya ga kak?
BalasHapusselain dari pemaparan yang kakak tulis ada lagi ga kak informasi yang berhubungan dengan jisatsu yang kakak tau ?
makasi kak, saya harap kakak mau membalas komentar saya ini
Artikel yang menarik... semoga blognya terus berkembang... Saya ingin berbagi wawancara dengan Akira Kurosawa (imajiner) di http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/04/wawancara-dengan-akira.html
BalasHapus